Tulisan saya kali ini sedikit
membahas mengenai perspektif saya terhadap instrumen lingkungan sosial:
orang-orang dan segala komplemen yang meliputinya, lalu koheransi dalam
ekspresi ‘bersosialisasi’ di lingkungan kita berada. Ya, semoga tidak
dipersepsikan unsur pencitraan di dalamnya.
Waking up with plans. Bangun tidur (untuk muslim) lalu beranjak
ambil wudhu, sholat shubuh. Di akhir memanjatkan doa, kemudian memanfaatkan
spasi waktu antara doa dan menguap untuk menyusun rencana: Akan memberikan
manfaat apa saja saya hari ini?
Salah satu cerita―pengalaman
diri―yang
sebermula menarasikan persepsi saya tersebut, dengan saya sebagai orang
pertama, pelaku utama.
Pagi itu di Rumah Sakit bilangan
Jakarta Pusat. Beberapa malam merumahkan diri di kamar pasien perihal merawat
kakak yang sakit, sekaligus menemani ibu
saya, berganti-gantian menjaga. Sholat shubuh yang terasa dingin. AC bersuhu
rendah tiap kamar memang di set bukan untuk penunggu pasien yang tidak
difasilitasi selimut tebal hijau susu layaknya pasien. Ibu masih tidur, dan
saya memutuskan turun ke bawah, menolak kedinginan. Saat itu pukul 5:15.
Menunggu waktu sarapan, saya menempatkan diri di patio seating suatu convenience
store RS setelah menekan Coffee
Vending Machine: Toraja Coffee (yang rasanya lebih menyerupai Robusta
coffee milk dengan extra shot). Dari patio
seating terlihat beberapa warung makan tenda yang masih menggelar-gelar
gorengan di atas container dialasi
koran bekas. Jauh dari higienis, tapi entah kenapa terasa lebih ‘joss’.
Pukul 6.20, nasi uduk langganan—3
hari berturut-turut beli di ibu yg sama—sudah ramai pembeli. Saya duduk,
memesan dua bungkus, satu untuk ibu saya. Ceriwis, tapi ramah. Tipikal penjual
yang ketika calon pembeli nya baru melongok, sudah melipat kertas dan menyentong
nasi—supaya pasti beli. Begitupun pada saya, dan kebetulan beliau sudah
terlanjur mulai hafal. Mungkin karna baju saya belum diganti dua hari.
“Enak bu nasi nya, pulen. Besok
pagi saya beli lagi ya.” Lalu beliau tersenyum ceriwis, dahinya mengkerut. Suatu
kesenangan tersendiri ketika basa-basi itu dapat menghidupkan ‘sosial’ yang
sederhana, lebih elementer.
Kembali ke kamar; membawakan
makanan, mandi, dan mengerjakan apa yang dapat membantu. Setelahnya, saya memutuskan
pergi keluar, mencari hal yang dapat diproduktifkan. Kalau menurut saya:
sebaik-baiknya waktu adalah waktu yang produktif, produktif untuk pelbagai hal
positif. Sesederhana mencari kopi, browsing
lowongan kerja dengan selingan buku bacaan, bertemu orang, membangun percakapan
yang ringan, namun penuh atensi. Atau mana tahu menjadi barang satu dua pengabulan
atas doa-doa orang yang memanjatkan, pun sebaliknya. Toh kita memang
dikehendakan demikian.
Jakarta padat merayap, memastikan
saya untuk memilih aplikasi transportasi online untuk berpergian. “Mbak Astrid
ya?”. Bapak nya ramah, senyumnya ketarik, terbatas oleh helm. Seketika beliau
menyodorkan helm penumpang, mempersilakan naik.
“Ini mau lewat mana mbak?”
“Lewat yang menurut Bapak enak aja. Saya nggak buru-buru.” ―Padahal
karna nggak tau jalan.
“Lewat jalan yang nggak panas aja Pak kalo ada. Hehe.” ―Entah
permintaan macam apa.
“Haha. Mbak nya darimana toh?” ―Ketawa kecil sebagai respon atensi; lalu
muncul percakapan basic yang mesti
diulang-ulang, karna terbentrok knalpot dan polusi.
Manfaat sampingan yang acapkali tidak diindahkan: sampai tujuan dengan
isi di dalamnya akan lebih terasa ‘selamat’, bukan?
Kopi Arabica, buku, laptop, dan
sepotong kue. Mengerjakan hal-hal yang
dapat diproduktifkan, rekonsiliasi antara implementasi dan yang tadi
direncanakan. Sesekali mengalihkan fokus ke lingkungan sekitar. Memerhatikan
kegiatan tiap orang dengan gerak tubuhnya masing-masing. Sesekali pula melepaskan
earphone, mengalihfungsikan telinga
untuk merespon tegur sapa peminum kopi sebelah. Adpertensi obrolan yang lumrah dari
mengangkat objek di atas meja sebagai buah obrolan. “Hobi buku juga, mbak?”
Basa-basi ringan yang membuka obrolan lebih intim atas pemikiran masing-masing,
lalu biasanya terasa kontra. Saya
menikmati seni daripada cukup mendengarkan dan mengangguk pelan, mencoba
menyelami pemikiran dan karakter setiap orang. Toh tidak semua percakapan
menagih konklusi, dan begini yang saya tahu: Kita semua terdiri dari bermacam
aliran pikiran, latar belakang sosial-kultural, dan berbagai kepentingan,
yang—jika didengarkan semua secara saksama dan bebas—akan memperkaya batin kita
sendiri.” – Mas GM.
Memperkaya batin dengan tidak menyinggung
batin orang lain―bertukar pikiran dengan rendah hati. Karna kesalahan dan
kebenaran masih terdengar relatif.
Sore yang hangat, mengangguk
halus meminta izin pergi duluan pada si peminum kopi sebelah tadi. Saya selalu
menikmati berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan Melawai. Lalu lalang nya
hangat, hiruk pikuk jalanan yang dipenuhi jejeran ranah bisnis tidak terasa
kasar. Lalu pandangan saya teralihkan ke sebuah warung nasi kecil, di dalam
suatu jendela setinggi paha orang dewasa. Jadi pembeli nya harus jongkok dan
melongokkan diri ke dalam jendela penuh bermacam lauk tersebut. Penjual nya
ibu-ibu, mungkin kisaran 60 tahun. Beliau duduk lesehan sejajar dengan
lauk-lauk dagangannya. Saya mengikuti gerakan fasih bapak-bapak yg terlihat
sudah sering makan disana, jongkok dan menunjuk beberapa lauk. Saya ikut pesan,
kemudian duduk di satu dingklik kayu panjang bersama bapak-bapak tadi, diikuti
beberapa pembeli lainnya. Namanya Ibu Sunarti, saya berkenalan. Bapak-bapak
sebelah tadi ikut nimbrung. Kiranya heran melihat saya makan disana, jelas di seberang
sedikit ada rumah makan cukup besar. Bapak-bapak di sebelah lagi masih menyenderkan
karung sampah dengan hati-hati, diletakkan jauh dari dingklik kayu, supaya
tidak mengganggu. Rupanya beliau seorang ‘Bapak yang mencintai kota ini, dengan
bekerja memunguti sampah’. Saya tidak banyak bicara, sampai saya mengembalikan
piring ke Ibu Sunarti dan kembali duduk di dingklik kayu itu. Berniat pulang ke RS,
saya meraih handphone, kembali
mengandalkan kepraktisan transportasi online.
“Melawai VI mbak.” – celetuk si Bapak, mendengar saya gelagapan ketika
menjelaskan posisi di telfon.
“Mbak mau pulang kemana, toh?
“Mbak tunggu disini saja, sampai supirnya datang”
“Ngopi mbak, mari.”
Beliau menaikkan gelas plastik keruh
berisi kopi hitam Kapal Api punya, tanda menawarkan. “Monggo Pak, mari”.
Penolakan yang terasa seperti sekadar mempersilakan. Saya menghabisi beberapa
menit menunggu dijemput sembari bercakap. Tidak intens, namun terasa aman: seperti
ditemani.
Lalu saya pulang, bersalaman
dengan si Bapak, melambaikan tangan pada Ibu di balik jendela penuh lauk.
Keduanya—Bapak dan Ibu Sunarti—menyerukan terimakasih dengan senyum lepas. Saya
melepaskan senyum tak kalah lebar, berterimakasih kembali. Menarik ketika
berbagai instrument masyarakat dapat kita selami, dengan kebermanfaatan diri yang
sekiranya tersalurkan: apapun itu. Bukankah bahagia yg utuh, adalah bahagia yang
turut membahagiakan orang lain?
Sampai di RS; mulai hafal dengan wajah
Bapak satpam yang bergantian shift dan beberapa petugas lift. Menegur pasien
baru di tempat tidur sebelah, nenek kelahiran '32. Agaknya penyakit
pernapasan akibat umur. Nama beliau nenek Sasthi, masih sangat pintar dan
cekatan di umur sekian. Belum ada yang datang menunggui, lalu saya menawarkan
menyuapi makan malam. Katanya: kamu mirip cucuku. Mungkin benar, atau lebih
mungkin menurutnya wajah remaja memang mirip semua. Saya dan ibu tidur di kasur
lipat, berdoa menutup hari itu. Hari yang baik; dikelilingi orang-orang baik.
---
Kesederhanaan dengan tidak
menjadi pengertian penuh hipokrasi dan dipersoalkan. Semua orang adalah baik,
karna ditakdirkan menjadi baik, hanya kadang terpatok batasan yang tidak
dikehendaki. Sungai pun ada batasnya, tebing-tebingnya, tapi apakah sebuah
sungai berarti hanya tebing-tebingnya?
Selamat menebar kebermanfaatan, kawan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi impresi daripada itu.
Salam sejahtera selalu,
Astrid Astari.