Sedikit Mengkritisi, Bukan Berpolitisi
July 05, 2014
Disini saya mau sedikit mengkritisi capres dan cawapres
2014, atau sedikit berpolitisi ¾
bukan berarti saya seorang aktivis, apalagi sok aktivis. Oke, pengetahuan saya
di bidang politik memang nggak banyak, bahkan saya belum pernah berkecimpung
langsung di bidang paling krusial tersebut. Mengapa krusial? Pada dasarnya
hal-hal terkait politik selalu marak di blow up di media-media. Sedikit
melakukan kesalahan, pihak tersebut dicerca oleh seluruh rakyat, berbeda dengan
hal-hal baik yang dilakukan, justru selalu disangkut pautkan dengan menjilat,
atau hanya sekedar diintepretasikan sebagai pencitraan atas reputasi nya.
Pemilu 9 Juli 2014. Ada segelintir rakyat yang masih marak
berkampanye, bertengkar dengan sesama fanatic kandidat yang berbeda, bahkan
sudah muak dengan pengkritisan kedua kandidat, yang dirasa cenderung meresahkan
karena perbedaan pendapat yang kerap kali digembor-gemborkan, dan pada akhirnya
menjatuhkan salah satu pihak tanpa alsan yang valid. See? Seluruh
jejaring social dimanfaatkan untuk mengemukakan pendapat dan pilihannya. Wajar.
Karena pada hakikat nya rakyat Indonesia itu bersuara. Asal tidak keluar batas.
Pengkritisan kedua calon presiden semakin marak dengan adanya
debat capres tiap minggu. Sedikit ulasan mengenai debat final capres hari
lalu, 5 Juli 2014, yang merupakan hari kampanye terahir dengan mengusung tema pangan, energy, dan lingkungn hidup; memberikan gambaran akan visi misi serta pengetahuan masing-masing kandidat.
Sesi pertama diawali dengan pertanyaan visi dan misi terkait
tema yang dibawakan. Hatta menyebutkan bahwa lingkungan hidup penting untuk
membangun sector pangan dan energy. Negara berkewajiban memenuhi ketersediaan
pangan yang terjangkau dan mudah diakses, maka ia menjanjikan sebuah komitmen
dengan kedaulatan, ketahanan, keamanan, kemandirian pangan yang kemudian
diarahkan kearah kebijakan. Tidak lain dengan cara ketersediaan pangan harus
terjangkau dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas pangan dan
gizi, serta mitigasi agar tidak ada kerusakan pangan. Di bidang lingkungan hidup
ia mengutarakan bahwa sustainability menjadi keharusan, penting bagi kita untuk
mengatasi global warming chance, konservasi untuk menjaga kelestarian. Beliau
melontarkan himbauan akan keharusan untuk bersungguh-sungguh meningkatkan
kualitas air, udara, tanah, dan bagaimana upaya kita agar prinsip-prinsip dasar
sustainable menjadi prinsip dasar. Menurutnya, lingkungan hidup bukan warisan,
tapi sesuatu yg harus kita jaga dan tingkatkan untuk generasi mendatang.
Pertanyaan yang sama diberikan pada pasangan Jokowi JK.
Jusuf Kalla menjawab, 5 tahun terahir pangan kita krisis luar biasa, apabila melihat
jumlah lahan padi dan jumlah penduduk Indonesia. Beliau mengemukakan bahwa Indonesia
mengalami situasi kritis di bagian energy, diantaranya padam listrik. Di bidang
pangan, dilakukan dengan ditingkatkannya purifitas, yaitu dengan perbaikan
pengairan, peningkatan mutu. Di bidang energy, harus segera mengadakan
perubahan cara, diantaranya dengan mix energy, konversi energy secara nyata bukan pidato, memperbaiki
transportasi umum untuk memperbaiki transportasi hidup baru dan terbarukan. Sedangkan
pada bidang lingkungan hidup, beliau mengkaji untuk akan memeperbaiki kualitas
sungai yg baik, menghidupi kehidupan yang nyaman. Maka Jokowi-JK berkomitmen
bahwa keduanya akan mengatasi hal ini dan memenuhi kebutuhan kita semua,
sehingga akan membawa masyarakat lebih baik kedepannya.
Sesi kedua, moderator kembali melemparkan pertanyaan. Untuk
pasangan Jokowi-JK, moderator yang merupakan rector UNDIP ini melontarkan pertanyaan:
“Berdasarkan visi misi yang disampaikan, bahwa Bapak Jokowi
dan Bapak JK akan membangun ketahanan pangan dengan ekspor pertanian, maka bagaimana
upaya yang dilakukan, dan strategi untuk menghadapi tantangan liberalisasi?”
Jokowi dengan ringan menjawab, “Yang harus dilihat pertama
adalah pasarnya. Contoh, petani diperintahkan untuk menanam papaya, tapi
pasarnya dimana? Asal petani diberi arahan, dikawal, dan diberikan PPL, mereka
akan bisa. Persoalan hanya kita tidak pernah memberikan pasar untuk mereka.
Industry pasca panen yang kita tidak pernah kerjakan dan tidak pernah terlihat
adanya. Yang belum ada adalah niat dan kemauan untuk mengatasi masalah itu. Pakar
banyak. Dan tanah kita sudah subur. Kuncinya di niat dan kemauan.” Dilanjutkan dengan
pernyatan Jusuf Kalla, “Ekspor perlu nilai tambah yang baik. Insutri hilir
daripada pertanian harus dikembangkan dengan baik. Yang membuat suatu daya
saing, serta yang dibutuhkan sebuah negara agraris adalah nilai tambah dalam bentuk pasar yang
baik.”
Kembali lagi, pasar yang baik.
Pertanyaan selanjutnya ditujukan kepada pasangan nomer 1,
Prabowo Hatta.
“Berdasarkan visi dan misi Bapak Prabowo dan Bapak Hatta,
yaitu meningkatkan produksi pangan dengan meningkatkan produktifitas pertanian,
bagaimana visi misi tersebut dilakukan dan upaya apa yg dilakukan terhadap
perubahan iklim?”
Prabowo menjawab, tantangan besar yaitu kita kehilangan lahan
pertanian. Terangnya, kita mengalami 2 masalah; insentifikasi lahan yg sudah
ada, dan 60.000 hektar yang hilang menjadi real estate dan sebagainya. Maka
ada 2 pendekatan ungkapnya, yaitu memperbaiki pupuk; yaitu menggunakan pupuk
majemuk yg spesifik untuk jagung, ubi, beras dan lain sebagainya. Dengan
menggunakan pupuk majemuk yang ada maka akan meningkatkan 40% dari hasil panen
kita. “Apabila kami diberi mandat, maka kami akan membangun 2 juta hektar
sawah baru di indonesia untuk mengganti 730 ribu hektar yg hilang, itulah
strategi kami untuk meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi, untuk
memperbaiki kedepannya.”
Pertanyaan saya, 2 juta hektar sawah baru ada dimana mengingat
pembangunan Indonesia erat dengan peningkatan industry, koperasi, dan
sebagainya? Katakan misal di Kalimantan. Lalu, bagaimana mobilisasi penduduk
Jawa untuk berpanen di pulau seberang?
Debat dilanjutkan pada sesi ketiga, yaitu pendalaman tema
debat malam itu. Pertanyaan yang sama dilontarkan moderator kepada pasangan
Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
“Dalam rangka mencapai kedaulatan energy kita mengalami
berbagai tantangan, yaitu pertama liberalisasi dalam tata keolala energy, kedua
subsidi bbm yang terus meningkat, dan ketiga porsi energy terbarukan kita masih
rendah yaitu hanya 6% dari target 23% pada tahun 2025 mendatang. Bagaimana
strategi untuk menata ulang sector energy?”
Mari kita bandingkan.
Hatta menjawab, “Penataan ulang sangat penting dengan
renegosiasi, serta bagaimana negara kita sustain. Meningkatakan cadangan dengan
eksplorasi, penting bagi kita untuk mengembangkan sumur-sumur tua. Tapi semur itu bersifat jangka pendek, yang terpenting adalah meningkatkan diversifikasi
enrgi terbarukan. Insentif dari pemerintah harus ada. 2020 harus mencaai setidaknya
20%. Dengan insentif dan fit in tarif, maka akan tercapai. Penghematan energy,
yaitu bagaimana kita menekan energy menjadi 0,8. Kita harus melakukan dengan
konsisten. Eksplorasi untuk memberikan BUMN yg lebih besar, serta disersivikasi
untuk energy baru dan terbarukan.”
Teoritis sekali, bung.
Sedangkan Jokowi menjawab, “Energy yang kita punya sangat
melimpah, menyangkut minyak, gas, dan panas bumi geothermal, serta energy
terbarukan. Yg pertama, kita harus berani memutuskan, bbm harus dikonversi ke
gas agar lebih murah yang bisa mengurangi beban bbm. Kedua infrastruktur berkaitan
dengan gas itu sendiri, pemipaan gas yang terhubung ke perumahan dan
indistri-industri harus segera dikerjakan. Pemipaan untuk gas kurang lebih bisa
dikerjakan dalam waktu 3 tahun dengan kecepatan tinggi. Ketiga yaitu masalah kemacetan.
Transportasi public harus dikerjakan secara baik di kota-kota besar. Tidak ada
kata tidak, agar energy yang ada benar-benar bisa dipakai se-efisien mungkin. Energy
terbarukan yaitu kita tahu bahwa lahan marginal masih banyak sekali. Misalnya
cantel atau sorgum bias ditanam dimana-mana, maka kita harus memulainya,
pertamina harus membuka pasar untuk insentif.”
Arah nya jelas, implementasi dan kesejahteraan rakyat.
Dan ini adalah satu pertanyaan terakhir untuk kedua pasangan yang saya
kritisi pada debat final capres 2014.
“Menipisnya Sumber Daya Alam dan meningkatnya pencemaran
lingkungan menjadi indikasi belum terwujudnya pembangunan berkelanjutan, maka apakah
strategi untuk menserasikan pertumbuhan ekonomi, kadilan social, kelestarian
lingkungan?”
Jokowi mengemukakan bahwa kita perlu menyeimbangkan ekonomi,
hajat dan kelestarian lingkungan. Ketiganya harus berjalan paralel agar
diperoleh kemanfaatan yang melestarikan bukan hanya urusan ekonomi, tp tetap lingkungam terjaga. Terangnya, sekarang ini, hutan kita rusak. Daerah aliran,
terumbu karang juga rusak karena kita hanya
mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan. “Kita tidak bisa
lagi berteori, tidak usah lagi muluk-muluk, apa yg kita konsepkan dan apa yg
kita tau harus dikerjakan dan diimplementasikan. Merencanakana sudah banyak. Namun
melaksanakan kurang.”
Di kubu Prabowo-Hatta, Prabowo menjawab, kerusakan lingkungan
tidak lain karena daya dukung bumi dan wilayah teritorial bangsa kita sudah sangat
berat menampung ledakan penduduk. Tiap tahun kita harus menerima tambahan 5
juta warga baru. Ini mempercepat kerusakan lingkungan, ditambah kurangnya
regulasi. Dilema bagi kita ketika tidak mempercepat pertumbuhan pada saat
pertambahan penduduk dan kerusakan lingkungan. “Strategi kami adalah banyak jalur, sekaligus dengan pendidikan kita
bisa menamamkan hubungan ekonomi dan menjaga lingkungan kita. Dengan
pendidikan dan sector ekonomi yg besar, serta keadilan social.”
Jawaban kedua kandidat memiliki kelemahan dan kelebihan. Tapi kita bisa melihat, pernyataan siapa yang lebih telak nyata nya.
Well, calon presiden memang bukan orang sempurna, bukan yang paling pintar di Indonesia.
Sedikit mengutip dari penyampaian seorang pengamat ekonomi Indonesia, Faisal
Basri, mengemukakan bahwa tidak realistisnya perluasan sawah segitu besarnya,
dan penggunaan ladang yang sudah lama bagaikan memperkosa nenek-nenek tua.
Resiko tinggi.
Memang, birokrasi untuk mengeksplorasi harus dilakukan
dengan perizinan, infrastruktur dan insentif. Terlalu teoritis dan text book bukanlah yang
Indonesia butuhkan, bung. Sudah banyak orang-orang genius di Indonesia, yang bisa
saja membuat teori se kompleks dan se berbelit-belit itu. Indonesia tidak butuh
retorika. Indonesia butuh kerja yang nyata, jujur, tegas, dan jelas arahnya. Terlalu
banyak rencana yang dicanangkan, yang pada akhirnya hanya menjadi wacana. Janji
untuk mengimplementasikan segala wacana tersebut dilontarkan kedua kandidat. Tentunya.
Ini politik, apapun bisa terjadi. Yang diatas bisa saja menjadi yang paling
bawah. Begitu pula sebaliknya.
Dari sekian panjang tulisan saya, saya memilih Jokowi untuk
memimpin Indonesia. Bukan #AkhirnyaMemilihJokowi, tapi #MemangSudahMemilihJokowi.
Beberapa kalangan takut dan mengkhawatirkan bahwa PDI akan mendalangi kinerja
calon presiden nomer 2 tersebut. Jadi gini, Jokowi tidak sebodoh itu, tidak selemah
itu. Bukan hal yang mudah untuk tembus menjadi kandidat calon presiden
Indonesia, dengan sedemikian keras tuntutan akan visi misi dan gebrakan dari masyarakat
Indonesia. People power ada. Demokasi masih tetap di tangan rakyat. Entah akan ada
yang digulingkan, atau yang akan selalu dibangga-banggakan. Bapak Jokowi,
pilihan saya, sosok yang selalu ada, sederhana, baik dan santun, menyayangi keluarga dan rakyatnya, sosok yang konkret dan bermanfaat untuk warga Jakarta,
dan kelak beliau akan se bermanfaat itu pula untuk rakyat Indonesia.
Terakhir, siapapun presiden yang tepilih, saya tetap bangga
telah memilih anda, Bapak Ir. H. Joko Widodo.
#Salam2Jari
#Jokowi-JK
0 comments