Idealis.
Bagaimana jika diksinya dialihposisikan
sebagai,
Menempatkan diri pada posisi yang sepantasnya—setelah
memantaskan diri—sebagai formasi penghargaan terhadap doa dan ikhtiar—yang
terbaik.
Toh kalau memang gawang yang ‘idealis’ katamu
itu tidak ditembus bola nya, berarti memang tidak yang terbaik, simple. Lalu kembali berikhtiar, untuk
pelbagai hal yang tersebut lagi-lagi: idealis.
“Lalu beritahu hingga kerikil sebongkah apa
kakimu itu tak lagi menang dari sandungan?” – kerabat si mas, menagih.
Bagaimana kalau kusebut, selamanya waktu
sehingga Sang Pengatur menaruh kuasa memutar-balikkan hati—tinggal menunggu. Satu
baris terbawah di daftar takdirku, memang Ia kosongkan untuk barang sepenggal
doa dan ikhtiar, bukan?
…fa idza ‘azamta fatawakkal ‘alallahi innallaha yuhibbul
mutawakkilin (QS 3:159)
Dan mungkin kusebut: hingga hati—batin—tidak
mampu mendefinsikan runtutan perasaan di dalamnya. Seperti terjerembab,
ketakutan akan lubang yang sama.
Sekarang kau jawab: adakah yang lebih
menjanjikan, daripada pasrah dan tidak peduli?
Mari ambil wudhu.
***