Si mas di pelataran Masjid

September 30, 2016

Idealis.

Bagaimana jika diksinya dialihposisikan sebagai,

Menempatkan diri pada posisi yang sepantasnya—setelah memantaskan diri—sebagai formasi penghargaan terhadap doa dan ikhtiar—yang terbaik.

Toh kalau memang gawang yang ‘idealis’ katamu itu tidak ditembus bola nya, berarti memang tidak yang terbaik, simple. Lalu kembali berikhtiar, untuk pelbagai hal yang tersebut lagi-lagi: idealis.

“Lalu beritahu hingga kerikil sebongkah apa kakimu itu tak lagi menang dari sandungan?” – kerabat si mas, menagih.

Bagaimana kalau kusebut, selamanya waktu sehingga Sang Pengatur menaruh kuasa memutar-balikkan hati—tinggal menunggu. Satu baris terbawah di daftar takdirku, memang Ia kosongkan untuk barang sepenggal doa dan ikhtiar, bukan?

…fa idza ‘azamta fatawakkal ‘alallahi innallaha yuhibbul mutawakkilin (QS 3:159)

Dan mungkin kusebut: hingga hati—batin—tidak mampu mendefinsikan runtutan perasaan di dalamnya. Seperti terjerembab, ketakutan akan lubang yang sama. 
Sekarang kau jawab: adakah yang lebih menjanjikan, daripada pasrah dan tidak peduli?


Mari ambil wudhu.




***

You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine