Brazil Arabica, sore itu.
Ibarat menyeduh kopi,
masing-masing kita terbentuk dari mode penemuan karakternya masing-masing. Diversitas
pola pikir, cita-cita, pencapaian, hingga tendensi atas afeksi pun antipati
terhadap komplemen yang meliputinya. Mencoba menyelami elemen dasar berupa
karakterstik orang-orang sekitar; meliputi konstituen pikiran, atas harapan hingga
problematika kehidupan.
Untuk saya, keuntungan menjadi
seorang dengan kepribadian Ambievert ialah kemampuan intuisi yang secara
naluriah menjadikan saya cukup adaptif dimanapun berada. Suatu etiket yang
kerap kali saya terapkan ketika sedang jalan santai sendiri, atau momen
menunggu waktu Magrib sebelum menempuh perjalanan pulang, seperti duduk nimbrung
di halte Pegangsaan menghendaki basa-basi ringan. Sekumpulan anak berseragam
sekolah dasar, sopir bajaj, pekerja berlalu lalang, atau pengguna jalan
layaknya saya. Kemudian lahir buah obrolan tanpa aksentuasi, ambien lugu,
seperti menuntun diri untuk menginferensi problematika ketika itu.
Jakarta, siang hari.
Menempati diri di suatu gourmet eatery & pastry shop mall
bilangan Jakarta Pusat, bergaya minimalis dengan tone off white, mampu mengedarkan pandangan saya hingga ke pojok
ruangan. Suasana lunch santai sekelompok sosialita diselingi obrolan berbuah tawa, seakan membuat makanan yang
disantapnya tak kunjung habis, atau
mungkin memang tak untuk habis? Saya kembali menebar pandangan. Seorang
Bapak muda borjuis bergaya parlente duduk di pojok ruangan, sibuk berkutat
dengan lawan bicaranya lewat ponsel.
Keningnya mengkerut, berbicara cepat dengan bahasa bilingual. Pikirku, mungkin
beliau seorang marketing yang morat-marit akan target achievement? Atau perusahaannya diserang kompetitor komunis?
Atau, perihal curhat pada kerabatnya karna kurang kaya? Ya apapun itu, saya
tidak mencoba tahu.
Menjelang sore saya beranjak
pergi. Berbeda arah tujuan dengan teman, saya memilih untuk naik kendaraan
umum—takut merepotkan. Taksi biru yang menjadi cukup jarang saya tumpangi,
teralihkan oleh ekonomistis transportasi online. Sapaan hangat seketika saya membuka pintu belakang, saya
membalas sapa tak kalah hangat. Bapaknya ramah, tuturnya halus, agaknya terbalut
dialek ngapak.
Interaksi lumrah yang dibungkus
menjadi suatu perbincangan penuh konten—mengangkat topik situasi saat itu.
Beliau menarik rem tangan, memposisikan kedua tangannya memeluk jok mobil
bagian kepala, seolah rebahan. "Macet ya, Pak". Bapak sopir merespon
dengan helaan napas, yang kemudian diekspansi membahas program pemerintah
terkait penanganan macet ibukota. "Yang konglomerat bisa saja beli mobil
baru, biar pelatnya fleksibel. Jangan salah lho mbak, banyak juga kasus
manipulasi nomor—agar bisa lewat jalur protokol. Dadi ya kayak saiki, macet ra'
rampung-rampung". Sedikit banyak mengerti tentang algoritma sistem
tersebut, saya hanya membalas tertawa. Helaan napas Bapak sopir yang berikutnya
membuat saya turut mengekspansi bahasan terkait moratorium kendaraan yang kelak
digalakkan, lalu berujung pada evaluasi para pasangan calon 'The Governor'. Beliau terus menuturkan
pandangannya, dari aspek A ke aspek F, ke S hingga ke Z. Jangan-jangan beliau mantan kritikus (?!) Saya tertegun,
mengangguk, mengiyakan di setiap titik kalimatnya. Lalu lintas yang sudah mulai
lengang mengalihkan perbincangan ke topik yang lebih ringan. Beliau bertanya
seputar pekerjaan, kemudian lanjut menceritakan kisahnya semasa mencari kerja
dulu, bermula dengan klise normatif: benar-benar dari nol. Tipikal orang yang
begitu komunikatif, beliau mampu mengisahkan asam garam manis pahit perjuangan
hidupnya secara sistemik. Pikiran saya serontak melengang, selengang jalan
Surabaya sore itu. Jangankan di hadapan gunung, goa, samudera; di hadapan seorang
Bapak sopir taksi pun kepelikan saya akan dunia fana bukanlah apa-apa. Kalau
menurut saya, selalu ada yang menarik dari sekedar diam, tersenyum mendengarkan
kisah siapapun yang ingin membagi; karna bukankah inspirasi, motivasi, bisa
datang dari siapapun, dan darimanapun?
Saya mengakhiri perjalanan di
bilangan Cikini Raya. Kepada Bapak sopir taksi saya berterimakasih, begitupun
beliau. Menghabisi petang, saya menempatkan diri di suatu cafe dengan jendela
besar bergaya klasik di muka bangunan. Saya selalu menyukai spot seating yang berhadapan langsung dengan
jendela besar—menghadap jalanan. Lalu lalang, pedestrian, dan lalu lintas, ada
pula pengamen, 'pasukan kuning', dan kuli bangunan. Seolah selalu berpapasan
tanpa mesti tegur sapa. Ada yang berbeda dari hiruk pikuk sepanjang jalan
Cikini. Jalanan yang dipenuhi bangunan klasik bercampur modern, membujur
strategis dari Patung Pak Tani hingga Megaria. Hiruk pikuk pusat ibukota,
seolah dipertontonkan dari jendela besar tempat saya berada. Tidak ada intensi
khusus di sore itu, selain bertemu tiga kerabat semasa SMA, perihal saling
bercurah hati, pikiran, dan bertukar cerita.
Lalu begini yang saya tangkap. Masing-masing
kita adalah individu dengan problematika diri masing-masing: Sosialita borjuis di restaurant siang tadi, kisah hidup
sopir taksi, peluh elemen jalanan di balik teater jendela besar, ketiga orang
kerabat, bahkan diri saya sendiri. Satu sama lain saling berkeluh, lalu berat
atau ringan masing-masing masalah menjadi terdengar relatif. Sampai akhirnya
kita tersadar, konklusi masalah ialah lahir dari diri sendiri—orang lain hanya
menspekulasikan asumsi. Seni daripada mengolah pikiran; intuisi untuk
mengesampingkan masalah diri untuk memberikan ruang bagi keluh kesah lawan
bicara yang membutuhkan. Intuisi untuk tahu kapan harus bicara dan
mendengarkan, untuk selalu menguatkan ketika diri sendiri hilang kekuatan…
Metromini trayek 017, mengantar
saya menuju Halte Pegangsaan, menunggu adzan Magrib sebelum menempuh perjalanan
pulang.
Problematika yang seperti
disuntik paksa mengalir ke seluruh arteri, sedang di hadapan saya berjajar
anak-anak berseragam sekolah dasar kompak membawa payung, supaya jika mendadak
hujan sudah siaga menjadi ojek payung. Sedang di hadapan saya berjajar sopir
bajaj yang tertidur di bajajnya, tak kunjung dapat penumpang. Sedang di hadapan
saya berjajar pula para pekerja mengadu nasib, demi menopang seribu
harapan.
Hidup sekedar hidup. Berjalan
memutar dunia lalu kembali ke titik sebermula. Lalu sebetulnya apa yang dicari?
Paradigma sebagian besar orang bahwa hidup adalah suatu pencapaian kontinuitas;
berlanjut ke pencapaian berikutnya, yang terkadang lupa batas. Batas
pencapaian, yang kerap pula terlihat sebagai restriksi atas rasa syukur.
Memaknai pencapaian sebagai suatu
proses equilibrium vertikal dan horizontal. Dimana kegagalan adalah bentuk
pengalihan tujuan duniawi terhadap apa yang Ia takdirkan. Terhadap apa yang
lebih baik dan memang digariskan menjadi yang terbaik, selama terus berikhtiar.
Hanya saja yang manusia tahu, takdir terbaik itu tidak diberikan semesta secara
cuma-cuma, namun berbayar dengan kesabaran, usaha, dan terus berdoa.
Brazil Arabica sore itu, arang
yang tidak pernah patah, semangat yang tidak akan mati, semoga mampu
mengimpresikan bagian per bagian dari tulisan ini.
Salam,
Astari Dirgawijaya.