Manusia, Harapan, Problematika,

February 07, 2017


Brazil Arabica, sore itu.

Ibarat menyeduh kopi, masing-masing kita terbentuk dari mode penemuan karakternya masing-masing. Diversitas pola pikir, cita-cita, pencapaian, hingga tendensi atas afeksi pun antipati terhadap komplemen yang meliputinya. Mencoba menyelami elemen dasar berupa karakterstik orang-orang sekitar; meliputi konstituen pikiran, atas harapan hingga problematika kehidupan.

Untuk saya, keuntungan menjadi seorang dengan kepribadian Ambievert ialah kemampuan intuisi yang secara naluriah menjadikan saya cukup adaptif dimanapun berada. Suatu etiket yang kerap kali saya terapkan ketika sedang jalan santai sendiri, atau momen menunggu waktu Magrib sebelum menempuh perjalanan pulang, seperti duduk nimbrung di halte Pegangsaan menghendaki basa-basi ringan. Sekumpulan anak berseragam sekolah dasar, sopir bajaj, pekerja berlalu lalang, atau pengguna jalan layaknya saya. Kemudian lahir buah obrolan tanpa aksentuasi, ambien lugu, seperti menuntun diri untuk menginferensi problematika ketika itu.


Jakarta, siang hari.

Menempati diri di suatu gourmet eatery & pastry shop mall bilangan Jakarta Pusat, bergaya minimalis dengan tone off white, mampu mengedarkan pandangan saya hingga ke pojok ruangan. Suasana lunch santai sekelompok sosialita diselingi obrolan berbuah tawa, seakan membuat makanan yang disantapnya tak kunjung habis, atau mungkin memang tak untuk habis? Saya kembali menebar pandangan. Seorang Bapak muda borjuis bergaya parlente duduk di pojok ruangan, sibuk berkutat dengan lawan bicaranya lewat ponsel. Keningnya mengkerut, berbicara cepat dengan bahasa bilingual. Pikirku, mungkin beliau seorang marketing yang morat-marit akan target achievement? Atau perusahaannya diserang kompetitor komunis? Atau, perihal curhat pada kerabatnya karna kurang kaya? Ya apapun itu, saya tidak mencoba tahu.

Menjelang sore saya beranjak pergi. Berbeda arah tujuan dengan teman, saya memilih untuk naik kendaraan umum—takut merepotkan. Taksi biru yang menjadi cukup jarang saya tumpangi, teralihkan oleh ekonomistis transportasi online. Sapaan hangat seketika saya membuka pintu belakang, saya membalas sapa tak kalah hangat. Bapaknya ramah, tuturnya halus, agaknya terbalut dialek ngapak.

Interaksi lumrah yang dibungkus menjadi suatu perbincangan penuh konten—mengangkat topik situasi saat itu. Beliau menarik rem tangan, memposisikan kedua tangannya memeluk jok mobil bagian kepala, seolah rebahan. "Macet ya, Pak". Bapak sopir merespon dengan helaan napas, yang kemudian diekspansi membahas program pemerintah terkait penanganan macet ibukota. "Yang konglomerat bisa saja beli mobil baru, biar pelatnya fleksibel. Jangan salah lho mbak, banyak juga kasus manipulasi nomor—agar bisa lewat jalur protokol. Dadi ya kayak saiki, macet ra' rampung-rampung". Sedikit banyak mengerti tentang algoritma sistem tersebut, saya hanya membalas tertawa. Helaan napas Bapak sopir yang berikutnya membuat saya turut mengekspansi bahasan terkait moratorium kendaraan yang kelak digalakkan, lalu berujung pada evaluasi para pasangan calon 'The Governor'. Beliau terus menuturkan pandangannya, dari aspek A ke aspek F, ke S hingga ke Z. Jangan-jangan beliau mantan kritikus (?!) Saya tertegun, mengangguk, mengiyakan di setiap titik kalimatnya. Lalu lintas yang sudah mulai lengang mengalihkan perbincangan ke topik yang lebih ringan. Beliau bertanya seputar pekerjaan, kemudian lanjut menceritakan kisahnya semasa mencari kerja dulu, bermula dengan klise normatif: benar-benar dari nol. Tipikal orang yang begitu komunikatif, beliau mampu mengisahkan asam garam manis pahit perjuangan hidupnya secara sistemik. Pikiran saya serontak melengang, selengang jalan Surabaya sore itu. Jangankan di hadapan gunung, goa, samudera; di hadapan seorang Bapak sopir taksi pun kepelikan saya akan dunia fana bukanlah apa-apa. Kalau menurut saya, selalu ada yang menarik dari sekedar diam, tersenyum mendengarkan kisah siapapun yang ingin membagi; karna bukankah inspirasi, motivasi, bisa datang dari siapapun, dan darimanapun?

Saya mengakhiri perjalanan di bilangan Cikini Raya. Kepada Bapak sopir taksi saya berterimakasih, begitupun beliau. Menghabisi petang, saya menempatkan diri di suatu cafe dengan jendela besar bergaya klasik di muka bangunan. Saya selalu menyukai spot seating yang berhadapan langsung dengan jendela besar—menghadap jalanan. Lalu lalang, pedestrian, dan lalu lintas, ada pula pengamen, 'pasukan kuning', dan kuli bangunan. Seolah selalu berpapasan tanpa mesti tegur sapa. Ada yang berbeda dari hiruk pikuk sepanjang jalan Cikini. Jalanan yang dipenuhi bangunan klasik bercampur modern, membujur strategis dari Patung Pak Tani hingga Megaria. Hiruk pikuk pusat ibukota, seolah dipertontonkan dari jendela besar tempat saya berada. Tidak ada intensi khusus di sore itu, selain bertemu tiga kerabat semasa SMA, perihal saling bercurah hati, pikiran, dan bertukar cerita. 

Lalu begini yang saya tangkap. Masing-masing kita adalah individu dengan problematika diri masing-masing: Sosialita borjuis di restaurant siang tadi, kisah hidup sopir taksi, peluh elemen jalanan di balik teater jendela besar, ketiga orang kerabat, bahkan diri saya sendiri. Satu sama lain saling berkeluh, lalu berat atau ringan masing-masing masalah menjadi terdengar relatif. Sampai akhirnya kita tersadar, konklusi masalah ialah lahir dari diri sendiri—orang lain hanya menspekulasikan asumsi. Seni daripada mengolah pikiran; intuisi untuk mengesampingkan masalah diri untuk memberikan ruang bagi keluh kesah lawan bicara yang membutuhkan. Intuisi untuk tahu kapan harus bicara dan mendengarkan, untuk selalu menguatkan ketika diri sendiri hilang kekuatan…

Metromini trayek 017, mengantar saya menuju Halte Pegangsaan, menunggu adzan Magrib sebelum menempuh perjalanan pulang.


Problematika yang seperti disuntik paksa mengalir ke seluruh arteri, sedang di hadapan saya berjajar anak-anak berseragam sekolah dasar kompak membawa payung, supaya jika mendadak hujan sudah siaga menjadi ojek payung. Sedang di hadapan saya berjajar sopir bajaj yang tertidur di bajajnya, tak kunjung dapat penumpang. Sedang di hadapan saya berjajar pula para pekerja mengadu nasib, demi menopang seribu harapan. 

Hidup sekedar hidup. Berjalan memutar dunia lalu kembali ke titik sebermula. Lalu sebetulnya apa yang dicari? Paradigma sebagian besar orang bahwa hidup adalah suatu pencapaian kontinuitas; berlanjut ke pencapaian berikutnya, yang terkadang lupa batas. Batas pencapaian, yang kerap pula terlihat sebagai restriksi atas rasa syukur. 

Memaknai pencapaian sebagai suatu proses equilibrium vertikal dan horizontal. Dimana kegagalan adalah bentuk pengalihan tujuan duniawi terhadap apa yang Ia takdirkan. Terhadap apa yang lebih baik dan memang digariskan menjadi yang terbaik, selama terus berikhtiar. Hanya saja yang manusia tahu, takdir terbaik itu tidak diberikan semesta secara cuma-cuma, namun berbayar dengan kesabaran, usaha, dan terus berdoa. 


Brazil Arabica sore itu, arang yang tidak pernah patah, semangat yang tidak akan mati, semoga mampu mengimpresikan bagian per bagian dari tulisan ini. 




Salam,
Astari Dirgawijaya. 



You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine