Djakarta

March 15, 2017


Mengulas beberapa pekan lalu, ketika sumbu api ibukota dinyalakan para demonstran. Sekerumun manusia berbalut sorban putih sembari membentangkan spanduk, memboikot sepanjang protokol. Serentak menggerungkan mesin suara, melafalkan ayat suci yang terbalut aksen diplomasi. Lalu pertanyaan yang kerap muncul, apakah sekerumun di belakang—yang terpisah jauh dari spanduk dan diplomator pemimpin pasukan—boleh jadi tidak mengerti akan lafadz ayat yang sedari tadi diserukan? Dan lihat kaum muda millennial yang sibuk mendokumentasikan dirinya, bangga atas balutan kain berwarna suci diantara ratus ribu pembela agama, demi kepentingan citra media. Barangkali mereka kaum provokator yang pasalnya berkonsep sekularisme—mempromosikan tatanan sosial yang memisahkan agama dan sistem pemerintahan. Hanya supaya terkesan nasionalis, untuk ibukota yang anarkis.

Sedang di pinggiran pusat ibukota, kaum marjinal sibuk menyaksikan advokasi plural para aparatur negara dari layar Televisi cembung 19 inch yang terpasang di pojok atas warung nasi. Perihal visi misi normatif pasangan calon untuk Jakarta, yang kadang terdengar tidak tepat sasaran. Komentar saut menyaut antar pelanggan terluap bersama nasi yang belum tuntas tertelan. Adalah kontributor suara terbesar untuk putaran kedua nanti, kaum marjinal yang tak terurus, hanya berangan satu perubahan basic yang mayoritas sama: Egalitarianisme. Paham bahwa perlakuan sederajat terhadap setiap orang adalah keutamaan, bukan terus menjadi seonggok marjinal di negeri panjat pinang—yang dibawah tetap diinjak-injak oleh yang di atas.

Kota Jakarta yang historis, indah dan sejahtera. Hanya saja terkesan kasar dan individualis. Barangkali orang lupa bahwa menebar senyum dan saling sapa, adalah bagian dari kemewahan bersosialisasi. Kerumitan yang terjadi ketika timpang sosial dijadikan pagar pemisah yang rigid, sedang kesejahteraan sosial bermula dari nurani keseteraan dalam tiap individu itu sendiri. Lalu kerumitan menjadi-jadi ketika distorsi nilai dalam arus globalisasi menghimpit setiap ruang gerak, menyusupkan ekses dan dampak budaya digital: meminimalkan komunikasi.

Lalu, apakah aksi para demonstran, visi misi pasangan, dan kaum marjinal, adalah hal-hal yang saling tidak berhubungan?






15/03

You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine