Assalamualaikum, Ramadhan

May 20, 2018


Bulan Ramadhan, 1439 H
Segerumun muslim membuncah dalam lafadz Alhamdulillah
Menyelingkap sarung dan mukena yang hendak menyapu tanah
Jalanan depan rumahku kini hiruk akan jajaran kain putih beriringan, penuh gairah menyambut sholat tarawih selepas berbuka
Kolak pisang, timun suri, dan kurma...

Sedikit tulisan di bulan suci Ramadhan, sepenggal representasi buah pemikiran.

“The likeness of those who spend their wealth in the path of God is as the likeness of a grain that sprouts seven spikes. In every spike, there are a hundred grains. Thus does God multiply reward for whomever he so wills.” (The Holy Quran, 2:261)


The blessed month of Ramadan, is what we respect as a time to awaken compassion and solidarity with the hungry and poverty-stricken men, women, and children around us. So what is the significance behind it? Do all Muslims also awaken the same happiness—sajdah and say Glorious is my Lord, the most High. Then how about the parameters of succeeding Maghrib Adzan (I bear witness that no God except Allah, I bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah). Running all the faith He commands, or we are just the way of gratuitously carrying it out?

Segelintir pertanyaan takzim mengudara di tempat makan saya membuka puasa hari itu. Begitupun dipikiranku—apakah puasaku hari lalu, hari ini, esok lusa, barang pasti diterima? Apakah aqidah yang mengindahkan tata laku manusia sudah cukup pantas dengan yang Ia kehendaki? Wallahu 'alam—and Allah knows the right.

Kadang manusia terlampu kulut untuk mendeklarasi barang suatu hal, merumuskan asumsi lalu mengutarakan sebagai buah spekulasi, tanpa menakuk kandungan kebenaran. Kadang manusia berjalan tanpa referensi—atau yang kita yakini pedoman Kitab Suci. Lalu garis batas antara salah dan benar, makhruh dan sunnah, haram dan halal menjadi samar. Atau, kadang diantaranya menjadi tak terdefinisi. Kembali, (kadang) manusia memang tak ahli dalam mendefinisi relatifitas dekrit perkara yang terasa lumrah.

Bukankah indah mengisi barang berbaris resolusi Ramadhan. Seperti halnya, setiap akhir pekan sholat tarawih keliling masjid ibukota, menggelar buka puasa bersama yayasan panti A, mengkhatamkan kitab suci. Atau hal sederhana yang mampu terintegrasi menjadi puing-puing pendokrak iman: menjaga lisan, mata, juga hati. Lalu diekspansi menjadi penataan tutur laku, membahagiakan sesama, mengulurkan tangan untuk investasi kebahagiaan di dunia maupun di dunia setelah akhir zaman. Bukankah akan lebih indah hidup tanpa memperdulikan masalah manusia terlampu jauh hingga salah makna. Bukankah lebih berkah menuntun kerabatmu menuju kebaikan, ketimbang turut terjatuh ke lubang yang sama—tak ada buah manfaatnya.

“Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku daripada niatku, karena niat selalu berubah-ubah”, ujar Sufyan Ats-Tsauri. Semoga niat baik selalu teguh, juga rendah hati.

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.



Salam.

You Might Also Like

1 comments

  1. Amin, selamat berbuka puasa mbak astrid ��

    ReplyDelete

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine