#Harau
May 06, 2018“Saya baru pernah
liat perempuan kayak mbak Astrid di Indonesia,
Jalan-jalan
sendirian ke Payakumbuh...”
Demikian ucap warga lokal di akhir perjalanannya menemani saya di Payakumbuh pekan lalu.
Kali ini menginjakkan kaki di tanah Minang, pedalaman Barat pulau Sumatera. Tanah Minang yang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai penggunaan bahasa dan adat kekerabatan matrilineal, pun identitas agama Islam. Seperti biasa, berjalan ala backpacker tanpa tahu medan pun kerabat jalan. Berbekal doa Ibu dan niat yang besar: melihat Lembah Harau.
Bukan well-planned kind of trip, literally baru pesan tiket pesawat H-3 demi men-adjust traffic job di kantor. Sengaja ambil tanggal yang ada Harpitnas hence justifikasi cuti ke boss lebih rasional. And my boss knows me so well, daripada mbak Astrid demotivasi. Haha ha.
Awal plan sebenarnya backpacking dengan teman kantor—we have the same nawaitu to see Harau. Tapi tiba-tiba beliau cancel lantaran sakit, lalu mengenalkan saya dengan salah seorang warga lokal Payakumbuh, pernah merged dengan agent travel juga katanya. No probs, cabutin
“Karna akan selalu ada jalan untuk mereka yang rindu jalan-jalan” – Astrid Astar
Sabtu sore pesawat saya mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). It was my very first time stepping step on Padang. Exit arrival gate langsung disambut Bapak-bapak sopir menawarkan jasa dengan dialek Padang kental. Mungkin karna tau saya pendatang, mereka masih menyesuaikan dengan bahasa Indonesia yang kePadang-Padangan. Saya langsung cari travel Bandara – Bukittinggi, loketnya langsung terlihat begitu penumpang keluar dari Arrival Gate.
“Ke Bukittinggi berapa mas? Eh, uda?” – Dan begitu seterusnya sampai akhir perjalanan, saya mengganti mas, dengan ‘eh Uda’.
Bandara ke Bukittinggi 75 ribu rupiah dengan Travel, ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Saya duduk di depan, mengutilisasi Driver Travel untuk memberikan pencerahan jalan. Saya minta diantar ke salah satu homestay di dekat Jam Gadang Kota Bukittinggi tanpa tahu lokasi dan bentuknya seperti apa. No reservation before, go show aja.
Sepanjang jalan arsitektur bangunan beratap runcing menyerupai tanduk kerbau menjadi uniqueness yang begitu eye-catching. Saya pernah baca, sejarahnya selalu dikaitkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau tentang kemenangan masyarakat Minang dalam adu kerbau melawan masyarakat Jawa.
“Mbak dari Jakarta?"
“Iya, Pak. Ngomong-ngomong itu SPBU atapnya juga harus lancip-lancip gitu ya?”
Bapaknya hening, Astrid lebih baik kembali ketiduran.
Ok lanjut. Sampai di homestay kurang lebih jam 8 malam, langsung mendapati homestay yang saya tuju sudah full booked. Baiklah. Mencari peruntungan menyusuri lokasi sekitar demi mengusahakan homestay harga backpacker yang belum ambil ATM. All fully booked! Saya langsung ingat kalau hari itu malam minggu, dan long weekend. Salah gue. The art of relying on ‘go show’, kalau apes malah ketawa sendiri gara-gara sotoy. Jalan-jalan ke Jam Gadang, makan sate Padang pinggir jalan lalu minum Bandrek Susu menjadi rescuer malam itu, sebelum akhirnya check in di Hotel Grand Kartini untuk bermalam. Backpacker mevvah kind of day, good night!
Perjalanan minggu pagi dimulai dengan mengitari Ngarai Sianok dan berakhir dengan mencicipi kopi lokal di tengahnya. Kopi asal Bukittinggi, dibakar dulu sebelum dihidangkan. Enak! Menjelang siang saya dijemput oleh kerabat teman saya seorang warga lokal Payakumbuh dan melanjutkan destinasi utama: Lembah Harau.
Dari persimpangan Bukittinggi, belok sebentar untuk menengok Istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Memang diperuntukkan untuk wisatawan yang ingin mengenal budaya luhur tanah Minang. Juru potret dengan pelbagai properti nya sudah siap menjamu pendatang untuk mengabadikan dirinya di depan megahnya Istano Basa. Sudah cukup puas mengitari Istana, mata saya tertuju pada Ibu-Ibu penjual Sawo di pelataran Istana. Saya menghampiri, membeli Sawo sepaket dengan dikupaskan oleh sang penjual. Ibu Yulina, warga asli Minang. Beliau bercerita, perihal pekerjaannya yang hanya menjual Sawo, itupun mengikuti musim. “Nggak apa-apa Bu, yang penting bisa bermanfaat."
Kembali mengejar tanah Harau supaya tiba tak terlalu petang. Perjalanan Batu Sangkar menuju Desa Harau kurang lebih 2 jam dengan motor. Jadi kalau ditotal, Bukittinggi – Batu Sangkar – Payakumbuh – Harau, 4,5 jam perjalanan dengan motor dan full sepanjang siang. Langsung gosong-gosong gembel gimana gitu.
Pukul 4, kami tiba di tujuan. Menapaki Senja di Harau.
Kanan kiri ku membentang sawah, dipagari lembah melengkuas
Di ujung pelupuk, matari menyirat sisa cahaya
Manusia menghambur meramaikan jalan
Menghalau burung pemakan padi di sisa hari;
Barang dua tiga ribu rupiah sudah diamani
Kini tanahnya sudah di aspal, lampu jalan tak lagi temaram
Barangkali agar Pak Tani tak sulit menggoes sepeda kumbang
Atau demi eksportir mudah menginflasi income
Sedang di tanah ini enggan perduli, apakah perlu simpul excuse atau retensi
Sudahlah, Tanah Harau tetap cerah
Palang Asmaul Husna yang menjajar di sepanjang jalan menjadi impresi awal yang membahagiakan untuk saya. Value daripada nama besar Tuhan, supaya selalu terlafadz dalam setiap langkah perjalanan. Saya menginap di sebuah cottage tepat di belakang tebing, ditambah ornamen air terjun kecil yang mendispersikan gemericik air. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan bentangan sawah milik warga. Seolah lukisan yang bergerak, petani bercocok tanam di bawah kaki gunung membelah terselip matahari petang. Kali ini kamar saya sudah di booking-kan oleh warga lokal teman traveling saya ini. Rezeki backpacker sholehah, harga kamar per malam “seikhlasnya saja”, karna ternyata digabung dengan traveler lain. Aman! Mostly memang bule, jarang traveler Indonesia yang sengaja datang kesini untuk backpacker. Oh I got it, pantesan pada heran.
Momen yang tidak boleh terlewatkan, kuliner malam di pusat kota Payakumbuh, tepatnya di pengkolan Pasar Atas. Martabak Mesir, Sate H. Awi, ditutup dengan minuman Kawa Daun. Kalau siang tadi melipir di tempat makan pinggir sawah dekat Batu Sangkar. So yea I finally experienced the real Nasi Padang di tempat asalnya langsung. Emang lebih enak sih dari kedai masakan Padang sebelah Indomaret deket rumah. Santan, minyak, dan segala lemaknya terasa lebih legit dan berkolesterol. Lol
Awal Hari di Harau,
Kudapati adzan Shubuh bertabuh hempasan air dari atas batu cadas. Dilanjut dengan ceramah singkat setelahya, menggaung tipis dari balik tebing. Segera bergegas mandi sebelum penghuni kamar yang lain terbangun, mengabaikan dinginnya air perbukitan. Menunggu matari terbit setidaknya pertiga lingkaran, pagi ku bersanding secangkir kopi hitam cerah. Saya meluang waktu untuk berjalan pagi di sekitaran rumah warga. Scene perjalanan yang paling saya senangi, berjalan dan bertemu orang—To travel and meet people. Mengenali pelbagai elemen di dalamnya, acceptance daripada semesta terhadap kehadiran kita yang datang untuk membuat cerita.
Pak Sarman sedang sibuk menggoyang-goyangkan tali bergantung kaleng-kaleng, diikatkan di beberapa titik supaya saling berkaitan. Di sebelah barat, Ibu Murni mengawasi langkahnya melintasi pematang sawah, sembari mengibas-ngibas bendera yang diikat diujung tongkat bambu. Keduanya untuk mengusir burung katanya, hanya berbeda cara. Saya duduk di kursi bambu yang sengaja dibuat di tengah pematang sawah. Menghempaskan sapaan selamat pagi pada Bapak petani, awal ikhtiar melunturkan restriksi garis batas manusia kota dan desa. Pak Sarman menyimpan kretek lokal yang masih setengah batang, membalas sapaan tak kalah hangat diikuti pertanyaan asal tempat tinggal. Ingin coba tengok ke Ibukota katanya, tengok gedung setinggi lembah tak hanya dari layar cembung media. “Enakan disini Pak, adem.” –Saya meyakinkan. Cerita seputar ibukota saya narasikan kepada beliau, jantung Indonesia dimana eksportir dan importir saling menggali tutup lubang. Polemik aparatur negara menjelang pilkada. Hingga yang paling melekat, “Di Jakarta, 16 kilometer bisa ditempuh selama 3 jam Pak. Enakan disini.” Saya kembali meyakinkan.
Perbincangan kami semakin ramah, ikhtiarku meruntukan resistensi warga lokal nampaknya berhasil. Kali ini ditambah Ibu Murni, beliau berjalan menghampiri. Tak mau kehilangan momen, saya mengabadikan foto dengan properti bendera sawah lalu berdampingan dengan Ibu Murni—dijepret oleh Pak Sarman. Di akhir percakapan keduanya menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya apabila di lain waktu kemari lagi. Tentu saja! Saya berpamitan, kembali menyusuri pematang sawah untuk sampai di jalanan utama. Langkahku seperti bergema, ternyata langkah kaki anak murid Sekolah Dasar mengikuti di belakang untuk hendak ikut upacara. Seketika terkesima menyaksikan Sekolah Dasar di tengah sawah itu begitu ramai, dipenuhi hiruk pikuk antusiasme generasi muda menggapai edukasi. Bahwa semua anak Indonesia berhak mendapat pendidikan tinggi tanpa terkecuali. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat, saya turut mendoakan.
Backpack merah 35L kembali ku pikul, kali ini ditambah buah tangan sandal jepit penginapan lantaran sepatu saya penuh lumpur tercebur sawah. Saya berpamitan kepada seluruh crew di penginapan, ditunggu untuk datang lagi kataya. Siap! Menengok sebentar ke kelok sembilan, kemudian saya kembali menumpang Travel untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Padang.
Perjalanan singkat, namun meninggalkan berpenggal cerita. Kadang cerita yang tak kunjung tinggal adalah cerita dengan value akidah agama dan integritas sosial di dalamnya. Bahwa setiap budaya, masyarakat, dan sejarah selalu kompleks dan multi-dimensi, tak ada kepastian yang bisa disimpulkan hanya dengan satu perspektif, melepas berlapis-lapis selimut impresi yang menghalangi objektivitas. Lalu ada konklusi setelahnya; Mendeterminasi perjalanan sebagai proses dinamis untuk menegaskan dugaan, atau membuat prasangka baru tentang kultur budaya dengan segala paradigmanya. Atau untuk mendengar cerita manusia dengan segala persoalannya.
Next trip kemana lagi kita?
Semoga bermanfaat,
Salam.
Demikian ucap warga lokal di akhir perjalanannya menemani saya di Payakumbuh pekan lalu.
Kali ini menginjakkan kaki di tanah Minang, pedalaman Barat pulau Sumatera. Tanah Minang yang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai penggunaan bahasa dan adat kekerabatan matrilineal, pun identitas agama Islam. Seperti biasa, berjalan ala backpacker tanpa tahu medan pun kerabat jalan. Berbekal doa Ibu dan niat yang besar: melihat Lembah Harau.
Bukan well-planned kind of trip, literally baru pesan tiket pesawat H-3 demi men-adjust traffic job di kantor. Sengaja ambil tanggal yang ada Harpitnas hence justifikasi cuti ke boss lebih rasional. And my boss knows me so well, daripada mbak Astrid demotivasi. Haha ha.
Awal plan sebenarnya backpacking dengan teman kantor—we have the same nawaitu to see Harau. Tapi tiba-tiba beliau cancel lantaran sakit, lalu mengenalkan saya dengan salah seorang warga lokal Payakumbuh, pernah merged dengan agent travel juga katanya. No probs, cabutin
“Karna akan selalu ada jalan untuk mereka yang rindu jalan-jalan” – Astrid Astar
Sabtu sore pesawat saya mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). It was my very first time stepping step on Padang. Exit arrival gate langsung disambut Bapak-bapak sopir menawarkan jasa dengan dialek Padang kental. Mungkin karna tau saya pendatang, mereka masih menyesuaikan dengan bahasa Indonesia yang kePadang-Padangan. Saya langsung cari travel Bandara – Bukittinggi, loketnya langsung terlihat begitu penumpang keluar dari Arrival Gate.
“Ke Bukittinggi berapa mas? Eh, uda?” – Dan begitu seterusnya sampai akhir perjalanan, saya mengganti mas, dengan ‘eh Uda’.
Bandara ke Bukittinggi 75 ribu rupiah dengan Travel, ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Saya duduk di depan, mengutilisasi Driver Travel untuk memberikan pencerahan jalan. Saya minta diantar ke salah satu homestay di dekat Jam Gadang Kota Bukittinggi tanpa tahu lokasi dan bentuknya seperti apa. No reservation before, go show aja.
Sepanjang jalan arsitektur bangunan beratap runcing menyerupai tanduk kerbau menjadi uniqueness yang begitu eye-catching. Saya pernah baca, sejarahnya selalu dikaitkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau tentang kemenangan masyarakat Minang dalam adu kerbau melawan masyarakat Jawa.
“Mbak dari Jakarta?"
“Iya, Pak. Ngomong-ngomong itu SPBU atapnya juga harus lancip-lancip gitu ya?”
Bapaknya hening, Astrid lebih baik kembali ketiduran.
Ok lanjut. Sampai di homestay kurang lebih jam 8 malam, langsung mendapati homestay yang saya tuju sudah full booked. Baiklah. Mencari peruntungan menyusuri lokasi sekitar demi mengusahakan homestay harga backpacker yang belum ambil ATM. All fully booked! Saya langsung ingat kalau hari itu malam minggu, dan long weekend. Salah gue. The art of relying on ‘go show’, kalau apes malah ketawa sendiri gara-gara sotoy. Jalan-jalan ke Jam Gadang, makan sate Padang pinggir jalan lalu minum Bandrek Susu menjadi rescuer malam itu, sebelum akhirnya check in di Hotel Grand Kartini untuk bermalam. Backpacker mevvah kind of day, good night!
Perjalanan minggu pagi dimulai dengan mengitari Ngarai Sianok dan berakhir dengan mencicipi kopi lokal di tengahnya. Kopi asal Bukittinggi, dibakar dulu sebelum dihidangkan. Enak! Menjelang siang saya dijemput oleh kerabat teman saya seorang warga lokal Payakumbuh dan melanjutkan destinasi utama: Lembah Harau.
Dari persimpangan Bukittinggi, belok sebentar untuk menengok Istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Memang diperuntukkan untuk wisatawan yang ingin mengenal budaya luhur tanah Minang. Juru potret dengan pelbagai properti nya sudah siap menjamu pendatang untuk mengabadikan dirinya di depan megahnya Istano Basa. Sudah cukup puas mengitari Istana, mata saya tertuju pada Ibu-Ibu penjual Sawo di pelataran Istana. Saya menghampiri, membeli Sawo sepaket dengan dikupaskan oleh sang penjual. Ibu Yulina, warga asli Minang. Beliau bercerita, perihal pekerjaannya yang hanya menjual Sawo, itupun mengikuti musim. “Nggak apa-apa Bu, yang penting bisa bermanfaat."
Kembali mengejar tanah Harau supaya tiba tak terlalu petang. Perjalanan Batu Sangkar menuju Desa Harau kurang lebih 2 jam dengan motor. Jadi kalau ditotal, Bukittinggi – Batu Sangkar – Payakumbuh – Harau, 4,5 jam perjalanan dengan motor dan full sepanjang siang. Langsung gosong-gosong gembel gimana gitu.
Pukul 4, kami tiba di tujuan. Menapaki Senja di Harau.
Kanan kiri ku membentang sawah, dipagari lembah melengkuas
Di ujung pelupuk, matari menyirat sisa cahaya
Manusia menghambur meramaikan jalan
Menghalau burung pemakan padi di sisa hari;
Barang dua tiga ribu rupiah sudah diamani
Kini tanahnya sudah di aspal, lampu jalan tak lagi temaram
Barangkali agar Pak Tani tak sulit menggoes sepeda kumbang
Atau demi eksportir mudah menginflasi income
Sedang di tanah ini enggan perduli, apakah perlu simpul excuse atau retensi
Sudahlah, Tanah Harau tetap cerah
Palang Asmaul Husna yang menjajar di sepanjang jalan menjadi impresi awal yang membahagiakan untuk saya. Value daripada nama besar Tuhan, supaya selalu terlafadz dalam setiap langkah perjalanan. Saya menginap di sebuah cottage tepat di belakang tebing, ditambah ornamen air terjun kecil yang mendispersikan gemericik air. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan bentangan sawah milik warga. Seolah lukisan yang bergerak, petani bercocok tanam di bawah kaki gunung membelah terselip matahari petang. Kali ini kamar saya sudah di booking-kan oleh warga lokal teman traveling saya ini. Rezeki backpacker sholehah, harga kamar per malam “seikhlasnya saja”, karna ternyata digabung dengan traveler lain. Aman! Mostly memang bule, jarang traveler Indonesia yang sengaja datang kesini untuk backpacker. Oh I got it, pantesan pada heran.
Momen yang tidak boleh terlewatkan, kuliner malam di pusat kota Payakumbuh, tepatnya di pengkolan Pasar Atas. Martabak Mesir, Sate H. Awi, ditutup dengan minuman Kawa Daun. Kalau siang tadi melipir di tempat makan pinggir sawah dekat Batu Sangkar. So yea I finally experienced the real Nasi Padang di tempat asalnya langsung. Emang lebih enak sih dari kedai masakan Padang sebelah Indomaret deket rumah. Santan, minyak, dan segala lemaknya terasa lebih legit dan berkolesterol. Lol
Awal Hari di Harau,
Kudapati adzan Shubuh bertabuh hempasan air dari atas batu cadas. Dilanjut dengan ceramah singkat setelahya, menggaung tipis dari balik tebing. Segera bergegas mandi sebelum penghuni kamar yang lain terbangun, mengabaikan dinginnya air perbukitan. Menunggu matari terbit setidaknya pertiga lingkaran, pagi ku bersanding secangkir kopi hitam cerah. Saya meluang waktu untuk berjalan pagi di sekitaran rumah warga. Scene perjalanan yang paling saya senangi, berjalan dan bertemu orang—To travel and meet people. Mengenali pelbagai elemen di dalamnya, acceptance daripada semesta terhadap kehadiran kita yang datang untuk membuat cerita.
Pak Sarman sedang sibuk menggoyang-goyangkan tali bergantung kaleng-kaleng, diikatkan di beberapa titik supaya saling berkaitan. Di sebelah barat, Ibu Murni mengawasi langkahnya melintasi pematang sawah, sembari mengibas-ngibas bendera yang diikat diujung tongkat bambu. Keduanya untuk mengusir burung katanya, hanya berbeda cara. Saya duduk di kursi bambu yang sengaja dibuat di tengah pematang sawah. Menghempaskan sapaan selamat pagi pada Bapak petani, awal ikhtiar melunturkan restriksi garis batas manusia kota dan desa. Pak Sarman menyimpan kretek lokal yang masih setengah batang, membalas sapaan tak kalah hangat diikuti pertanyaan asal tempat tinggal. Ingin coba tengok ke Ibukota katanya, tengok gedung setinggi lembah tak hanya dari layar cembung media. “Enakan disini Pak, adem.” –Saya meyakinkan. Cerita seputar ibukota saya narasikan kepada beliau, jantung Indonesia dimana eksportir dan importir saling menggali tutup lubang. Polemik aparatur negara menjelang pilkada. Hingga yang paling melekat, “Di Jakarta, 16 kilometer bisa ditempuh selama 3 jam Pak. Enakan disini.” Saya kembali meyakinkan.
Perbincangan kami semakin ramah, ikhtiarku meruntukan resistensi warga lokal nampaknya berhasil. Kali ini ditambah Ibu Murni, beliau berjalan menghampiri. Tak mau kehilangan momen, saya mengabadikan foto dengan properti bendera sawah lalu berdampingan dengan Ibu Murni—dijepret oleh Pak Sarman. Di akhir percakapan keduanya menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya apabila di lain waktu kemari lagi. Tentu saja! Saya berpamitan, kembali menyusuri pematang sawah untuk sampai di jalanan utama. Langkahku seperti bergema, ternyata langkah kaki anak murid Sekolah Dasar mengikuti di belakang untuk hendak ikut upacara. Seketika terkesima menyaksikan Sekolah Dasar di tengah sawah itu begitu ramai, dipenuhi hiruk pikuk antusiasme generasi muda menggapai edukasi. Bahwa semua anak Indonesia berhak mendapat pendidikan tinggi tanpa terkecuali. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat, saya turut mendoakan.
Backpack merah 35L kembali ku pikul, kali ini ditambah buah tangan sandal jepit penginapan lantaran sepatu saya penuh lumpur tercebur sawah. Saya berpamitan kepada seluruh crew di penginapan, ditunggu untuk datang lagi kataya. Siap! Menengok sebentar ke kelok sembilan, kemudian saya kembali menumpang Travel untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Padang.
Perjalanan singkat, namun meninggalkan berpenggal cerita. Kadang cerita yang tak kunjung tinggal adalah cerita dengan value akidah agama dan integritas sosial di dalamnya. Bahwa setiap budaya, masyarakat, dan sejarah selalu kompleks dan multi-dimensi, tak ada kepastian yang bisa disimpulkan hanya dengan satu perspektif, melepas berlapis-lapis selimut impresi yang menghalangi objektivitas. Lalu ada konklusi setelahnya; Mendeterminasi perjalanan sebagai proses dinamis untuk menegaskan dugaan, atau membuat prasangka baru tentang kultur budaya dengan segala paradigmanya. Atau untuk mendengar cerita manusia dengan segala persoalannya.
Next trip kemana lagi kita?
Semoga bermanfaat,
Salam.
3 comments
Nasi padangnya lebih legit dan berkolesterol, mbak astrid? Aih, enak kali! ��
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteah keren sekaliii baca tulisan-tulisan kakak :))
ReplyDelete