How I Engange Local People
July 21, 2018
Hi blog, Assalamualaikum.
Easy writing on saturday pairing
with hot café latte and roll croissant. Not too much work at the time, thereof I
tend to maintain my blog instead. Since I have delayed many times to write out
things but times not supposed to be sufficient. Many things done as well as
much energies drained, and all you want to do is traveling haha. So ya, I found
out my messages on Instagram requesting specific content about traveling. It
might be many things in each preference, here I just want to share mine. A
little perspective about how I engage and communicate deeply with local people
since I consider it as valuable life skill.
Sek yo neguk kopi dulu.
Okay, first thing first, warga
lokal mostly adalah orang-orang yang masih cukup kental dengan kultur dan tata
laku budayanya. Compared with turis/traveler yang ber-notabene warga
metropolitan, jelas melintang garis batas yang cukup kontras. Kalau berada di
destinasi yang memang merupakan tempat wisata, biasanya mereka sudah cukup apik
dalam bertutur laku dengan turis selayaknya turut berperan menjadi elemen
wisata. Berbeda dengan di daerah yang memang tidak diplotkan sebagai tempat
wisata secara umum, tak banyak turis yang datang, bahkan wisatawan domestik.
Kecenderungan yang muncul adalah paradigma sebagian warga bahwa kota dan desa
menjadi dua kubu yang terpaut jauh—tak bersangkut paut. Approachment untuk
first entry itu perlu, supaya kesananya dimudahkan. Pelajari dulu gesture si
Bapak & Ibu, apakah terlihat terbuka, atau justru malah menghindar.
Di setiap awal perbincangan biasanya
saya berdiri mendekati warga lokal setelah observing terlebih dulu sekerumun
warga yang sekiranya akan terbuka. Ibu-ibu atau Bapak-bapak, sendirian atau
berkerumun tak jadi masalah. Yang penting niat untuk berbuat baik tak ada
berubah.
Permisi dengan ramah..
Permisi, ucap saya memecah
kerumunan. Bertutur ramah, sembari menebar senyum, insha Allah acceptance as
the first entry akan muncul. I do personally agree kalau ramah tamah menjadi
hal yang harus secara konsisten dan persisten dipertahankan, supaya acceptable
dimanapun, apalagi ketika sendirian. Situasional juga, ramah nggak selalu
diperlihatkan dengan frequently senyum dan cengengesan, tapi juga dari cara
kita bersikap. The art of starting basa-basi lumrah seputar kondisi setempat,
udara kala itu, tempat jual makanan, atau apapun, kemudian dikemas menjadi
perbincangan yang dinamis. Dinamis yang mampu menciptakan komunikasi dua arah
untuk saling berbagi informasi. Agaknya ada perasaan bangga akan daerah
tinggalnya yang timbul seraya mereka menjawab satu-persatu pertanyaan, bahkan
mengekspansi menjadi informasi yang lebih luas.
Eye to Eye
Pelajaran sejak dini yang
diajarkan Ibu saya, selalu membiasakan diri melihat kedua mata siapapun lawan
bicara. Seolah mengimpresikan perasaan antusias mendengarkan—menunggu satu demi
satu kata lawan bicara hingga menjadi serangkai kalimat, pun kadang
berputar-putar. Momen ‘nyenengi’ ketika sang Ibu/Bapak setempat justru gelagapan
atau malu-malu. Ada juga yang justru bicara tanpa mampu berhenti. Tipikal seperti
ini menurut saya lebih memudahkan path perjalanan, karna jelas akan lebih mudah
untuk share informasi. Be a wise listener aja, tinggal cari slot-slot yang
tepat untuk bertanya atau berpamitan.
Lalu ada yang dapat dikonklusikan:
Kultur budaya masing-masing wilayah turut tercermin dari cara pandang
masing-masing orang di dalamnya. Mencoba mengenal gesture dari dua tiga orang,
selebihnya akan lebih mudah menyesuaikan. Again, kecenderungan antar warga pada
suatu wilayah biasanya tak banyak berbeda, dalam kapasitas personalianya
masing-masing.
Mas, Bang, Uda...
Penggunaan kosakata pada wilayah
tertentu memang lebih baik disesuaikan dengan aksentuasi setempat. Contoh yang
paling sederhana, panggilan kepada orang lebih tua akan berbeda-beda di setiap
wilayah. Di Bali kita memanggil “Bli”, di Solo “Mas”, di Padang “Uda”, di
Lombok “Kak”, atau bahkan di Bandung “Kang”. Kadang elemen-elemen kecil
surprisingly mampu melunturkan gap antar personal menjadi samar. For this case,
saya sendiri masih direpotkan dengan kebiasaan memanggil semua orang by default
“Mas” dan “Mbak”, jadi ketauan banget gitu backpacker gembelnya. Atau jadi dimahalin
karna terlihat seperti cewek sendirian jalan-jalan (lha memang iya). But no
worries, adjustment perjalanan pasti ada. Just be aware of your surronding.
Terimakasih, sampai jumpa kembali?
What I love most about
long-travel story, mengindahkan akhir pertemuan dengan rekan perjalanan saya—supaya
lebih berkesan. Biasanya bertukar kontak, menjalin habluminannas yang lebih
konkret. Kembali, manusia pada dasarnya ingin dihargai atas barang suatu hal. Terimakasih
yang mengimplikasikan pada penghargaan atas waktu pun tenaga yang telah
diluangkan. Atau menifestasi dari positifitas diri pada lingkungan kita berada,
sedemikian sederhana.
Salam.
2 comments
Semoga segera bisa jalan-jalan lagi mbak astrid hahahaha
ReplyDeleteLove banget sama cerita-cerita kak Astrid untuk menyelami rasa bersama orang-orang baru.. Kak Astrid panutanku 💓
ReplyDelete