Solo, bakpacker.

April 23, 2017


Tiga kurang sepuluh sore, di pelataran warung kopi jantung ibukota.
Arabika Wamena bersanding Barry Gibb bersaudara.


Perihal ingin menuangkan sedikit tulisan tentang aktivitas yang kerap saya lakukan: Solo backpacker.
Traveling ala backpacker, sendirian, dan perempuan. Membuat saya sudah cukup kenyang ditimpa pertanyaan lalu lalang yang sekelibat terlontar, “mba sendirian?”. Selintas terdengar basa-basi, namun diulang berkali-kali. Saya membalas senyum, menjawab dengan template ringan, lalu melengos pergi.

Suatu ketertarikan yang elementer untuk melancong ala backpacker; melakukan perjalanan dengan budget minim, namun terasa lebih berkesan. Jeans santai, jaket, carrier merah 35 L yang hanya terisi seperlunya. Mencari akses transportasi hingga penginapan dengan pertimbangan efektifitas biaya dan jangkauan perjalanan. Menyiapkan rencana perjalanan berikut alternatifnya dengan fleksibilitas diri dan pola pikir ketika situasi tidak sejalan. Mengatur pola makan dengan konsumsi secukupnya—yang penting perut ‘nggak keroncongan’. Keuntungan bagi saya sebagai seorang yang bisa tidur dengan cepat dan nyenyak dimanapun berada, menjadikan alur backpacker saya tidak mesti dipusingkan saat mencari tempat bermalam, asal aman dan bersama sesama traveler perempuan. Dan yang paling penting, adalah untuk tidak melewatkan ibadah dan selalu berdoa. Hingga sampai pada sisanya, keberanian diri yang mengokohkan langkah untuk meninggalkan sejenak zona aman saya.

Berangkat dari niat dan tujuan melakukan solo backpacker, ialah bukan sekadar pencapaian atas berbagai tujuan destinasi, dokumentasi, atau kesesuaian itinerary. Semua orang bisa saja mencapai destinasi terjauh—hingga memutar dunia sekalipun. Adapun dokumentasi yang dirasa cukup sulit untuk mengabadikan foto diri di tengah pemandangan alam terbentang selain tanpa bantuan tongsis; atau mesti meminta bantuan wisatawan lain—saling barter. Juga pencapaian yang bukan sebatas kesesuaian itinerary, sebuah rencana perjalanan manusia, yang selalu bisa berubah menyesuaikan bermacam situasi yang kelak akan dihadapkan.

Solo backpacker untuk saya, memaknai perjalanan sebagai pengenalan terhadap seluruh diversitas elemen yang meliputinya; orang baru, tutur laku dan dialek baru, budaya baru, hingga pandangan baru. Berjalan sendiri, melepas seluruh atribut diri dan melebur ke dalam masyarakat setempat. Menelusuri jalan besar hingga jalan setapak, mencari objek jalanan yang memungkinkan saya bertemu orang banyak. Begitupun dengan akses transportasi yang kerap saya gunakan, dimana transportasi umum agaknya mampu membukakan batas relasi antar manusia yang lebih luas. Seolah mentransformasi proses pencapaian destinasi tujuan sebagai alegori tegur sapa dan menebar kebermanfaatan.

Lalu ada yang lebih menarik daripada kecanggihan digitalisasi penunjuk arah smartphone, yaitu komunikasi natural dengan penduduk setempat perihal menunjukkan “jalan”. Seperti suatu siang di Kota Gede Yogyakarta, menumpangi becak seorang Bapak Tua. Komunikasi yang semakin hidup mampu mandatangkan berbagai kemudahan ketika saya berjalan sebagai pelancong tak berkendaraan pun tak menahu jalan. Beliau mengantar saya hingga mendapatkan kendaraan selanjutnya, Kopaja yang hanya sesekali melintas. Kepada sopir Kopaja, Bapak Tua menitipkan saya. Lalu saya mencium tangan beliau, berterimakasih dan berpamitan. Seolah menjadi klise menarik yang selanjutnya, bahwa perjalanan sendirian mampu termanifestasi menjadi perjalanan beramai-ramai; hubungan habluminannas yang substansial.

Memaknai suatu perjalanan sebagai sebuah pengenalan pada hidup, bahwa hidup akan selalu berjalan. Bahwa hidup adalah pertemuan dengan hal-hal baru, yang pula selalu diikuti perpisahan. Adalah kesenangan dalam diri ketika dialektika tegur sapa mampu menjadi reminisensi yang terekam apik bagi sebagian orang. Melawan garis batas zona kenyamanan diri untuk mengasah daya resiliensi—kapabilitas diri, untuk mampu berjuang sendiri di tengah keramaian, yang sejatinya menemukan pribadi diri lebih jauh dari yang sebatas tercerminkan.

...dan untuk selalu bersyukur dan rendah hati; karna perjalanan mengajarkan masalah-masalah yang dianggap begitu berat dalam diri, hanyalah sebesar titik di antara kutub pepat bumi.


So, how could you not go traveling?




Tertanda,
Astrid A. Dirgawijaya



You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine