Kopi & Kontemplasi

July 02, 2017


14:05. Silaturahmi dengan kopi pasca Hari Raya.

Tanpa beralih dari spot seating di balik jendela besar, muka lalu lalang jalanan. Lalu lalang yang ramai oleh pejalan kaki berembel-embel masih libur pasca lebaran. Kakek dengan Cucu, Cucu dengan Nenek, Suami menggandeng Istri, Istri menggendong Anak, gerombolan Mahasiswa dengan konversasi normatif, Tukang Parkir yang menstandar dua seluruh motor—meminimalisir tempat. Hanya satu dua Pedagang yang unjuk gerobak, barangkali yang lain masih di kampung halaman. Saya memulai ritme pelan antara mengedar pandangan dan meneguk kopi, masam pahit ringan yang sudah lama tidak dijumpai. Menulis kata demi kata tulisan ini.

Udah lama, nggak nulis..

Beberapa pekan disibukkan dengan rutinitas urban Ibukota. Mengalihfungsikan tendensi atas waktu dan tenaga berdasar urgensi dan objek konsentrasi. Bentuk memperjuangkan sebuah priotitas, ada puncak gunung-gunung lain dulu yang harus dicapai, baru kembali ke objek destinasi yang lain.

Kembali, mengaduk latte art kopi signature barista langganan. Menyumpal telinga dengan kabel berlagu lawas kontemporer. Selayaknya moment mahal untuk berkontemplasi, mengimaji perjalanan ala backpacker menelusuri gunung, laut, sawah, bukit, danau, perahu nelayan, becak, kopaja ringsut, truk ketengan, gudeg, tempe bacem, telur dadar rasa minyak, gado-gado siram, wedang ronde, es bandrek, teh tawar panas, yang selalu mengakhiri langkah mengunjungi desa-desa, menyatu dengan warga dan kopi hitam nusantara.

Ya boleh jadi dibilang, selalu menjadi suatu ketertarikan tersendiri untuk saya berjalan ke desa-desa. Nggak hanya jalan sembari mengabadikan pemandangan di balik lensa;  ada komplemen-komplemen lain yang seolah  menghadirkan perjalanan lain—lebih elementer—menyelami kehidupan warga desa lewat dialek berbahasa dan laku budaya. Bermula dari yang paling sederhana, sambutan hangat warga di balik raut wajahnya yang naif, megembangkan tutur senyum lunak berbalik sapa. Kedua matanya menyipit, terkikis pahatan garis tua di ujung pelipis. Sembari berdiri, kadang melungguh di pelataran rumah, biasanya bersingkap kain batik (atau sebenarnya sarung?), bersemangat mengangkat cangkir kopi hitam yang baru setengah diaduk, tanda menawarkan. Saya ikut duduk, turut diseduhkan kopi, sudah siap membena(kan) berparagfraf cerita. Tentang musim padi menguning, kebun kopi dekat sini, tradisi tiap bulan, atau tahun, atau kebijakan fiskal lumbung sebelah, persepsi kinerja Pak Menteri, hingga sentuhan Pak Presiden yang tidak terasa lagi. Ah, kangen.

Sedikit prolog dari sebuah memoar, melanjutkan kilas balik tentang perjalanan manusia yang berdoa..

Mimpi dan harapan. Tiap-tiap manusia memiliki keduanya, plottingan diri untuk tahun-tahun ke depan. Bermacam latar belakang berkomplot referensi, mengemas cerminan masa depan yang mampu membangunkan tiap-tiap mereka dari tidurnya, untuk bangkit menghidupkan mimpi secara nyata. Tanpa sadar memunculkan energi substansial untuk terus berjalan sampai puncak, melawan medan sedemikian terjal, bahkan kadang tak terlihat titik terang. Berliku-liku, ditambah pula terpaan bongkahan batu. Lalu kamu meraih tongkat untuk menguatkan pijakkan, yang pula tak cukup kuat. Kamu melempar temali, mengaitkan ke bongkahan batu sekian meter di atas pandangan, yang kelak akan menggelinding pula. Tersiar suara-suara yang tak lain teriakkan provokatif untuk kembali ke bawah, melupakkan bendera di atas puncak. Lalu kamu membangun tenda, meleperkan matras, berlindung menunggu pagi—menagih cahaya matari. Sepanjang malam yang tak hanya untuk pejam dan tertidur, namun menumatkan seribu doa agar selalu terlindung. Waktu fajar yang lebih terang dari tengah malam lalu, membuka pelan matari di ufuk timur. Terlihat puncak yang kini tak berkabut, teraih tongkat yang kiranya lebih kuat untuk menopang, teraba tebing yang tepat untuk kau kaitkan temali. Tapak demi tapak tetap menanjak berlika-liku, namun itulah jalan. Selang sekian waktu kamu tiba di puncak, menggapai bendera yang tertancap di sela-sela tanah berkapur perlambang puncak. Menengok kembali jalan yang telah dilewati, tersenyum menyeringai di balik peluh yang tumpah. Mengingat kau berjalan sendiri, alih-alih menuntunmu mengenal jati diri lebih jauh. Mengingat tenda malam tadi, tempat berlabuh menahan ego diri manusia, mengalihkan usaha pencapaian dunia menjadi penyerahan atas dunia sepenuhnya—terus berdoa. Bahwa insha Allah akan selalu ada jalan, untuk mereka yang benar berjuang…

Sedikit alegori pragmatis atas sebuah pencapaian, yang sejatinya menarasikan pengalaman diri saya. Menjadi seorang ambisius yang idealis, seorang yang “kalo udah mau, ya nggak akan berhenti”, kemudian menaruh plottingan pencapaian pada masing-masing “stage of life”. Toh mungkin terdengar klise, bahwasanya memperjuangkan mimpi yang semata-mata tidak hanya untuk duniawi dan diri saya sendiri. Atau terkesan diplomatis, ketika memperjuangkan cita-cita yang pula mampu menebarkan manfaat bagi orang lain. Lalu hadir respon skeptis yang seolah meremehkan, mengernyitkan pelipis perlahan seraya memandang sebelah mata. Dan ketika anggapan remeh orang lain menjadi kekuatan substansial untuk saya terus berjalan lebih cepat, meninggalkan bukti konkret bahwa tidak ada yang sia-sia bagi mereka yang terus berusaha dan berdoa, dan tahu harus berjalan kemana.

And when the trivial assumption of others becomes a substantial force for me to keep struggling harder, leaving a concrete proof that nothing is in vain for those who keep going, and never stop believing.

Lalu begini yang saya tahu; Harapan, mimpi, bukanlah hanya perihal jejak langkah yang dilewati, parameter visual pencapaian duniawi, namun titik-titik parsial untuk mampu disyukuri.


Kembali, siang yang kini berganti petang, masih dari balik jendela besar. Terang sore berpendar, menembus partisi jendela, menyoroti cangkir kopi yang bersisa perempat bagian—semakin masam. Kembali berkontemplasi, mengikuti gerakan impulsif manusia berlalu-lalang di ujung hiruk pikuk jalanan. Pensil raut tumpul, Notebook berlabel kantor, dan kopi sedari tadi siang, semoga mampu mengimpresikan tiap bagian dari tulisan ini.





Jumpa lagi,

02/07.

You Might Also Like

1 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine