Selamat Berakhir Pekan

November 20, 2017

Akhir pekan di warung kopi ibukota,
Pukul lima sore, di ujung jalan
Di balik jendela,
Di antara pendar lampu jalanan,
Di antara sibuk yang tersempatkan.

Menunggu momen kembali memparagrafkan tulisan, bercerita barang sepenggal dua penggal buah pemikiran.

Huh sibuk ya, bekerja. Selayaknya seleksi alam, prioritas hidup perlahan-lahan mengerucut dengan sendirinya. Bermutasi ke fokus-fokus yang semestinya didahulukan. Ya boleh jadi, stereotype orang-orang kolot yang mengindahkan akhir pekan: Selonjoran di rumah saja sudah seperti liburan. Baiklah, in the meantime, I’m with it.

Kali ini ingin mengulas sedikit elemen tentang hubungan antar manusia—Habluminannas, lalu diekspansi ke hari-hari yang selalu baik dan bermanfaat. Berangkat dari hal-hal terdekat dengan keseharian saya, kiranya mampu menyumbangsikan persepsi yang esensial. Serta dari pertanyaan yang terus berputar-putar di kepala: Kenapa ya, orang-orang kok seneng banget ngurusin hidup orang lain? Punya masalah pun belum tentu.

Menjadi orang yang senang membaca situasi dan memposisikan diri dengan bemacam karakter di sekitar saya, membuat saya sedikit banyak mampu dengan cepat membaca karakter lawan bicara. Tidak perlu banyak cakap, hingga masing-masing dari kita memulai bercerita sendiri, yang sejatinya akan membuka konversasi lebih terbuka.

Beberapa kali bertemu momen ngobrol dengan tokoh-tokoh jalanan: Kenek bus kopaja, Bapak pengatur parkir, Ibu penjual risoles-goceng-tiga, bocah Ojek payung, Kakek yang memunguti sampah jalanan—supaya bersih dan nyaman, dan yang cukup sering, Bapak pengemudi Becak, Bajaj, hingga transportasi online smartphone punya. Menjawab beberapa pertanyaan netizen perihal "untuk apa" dan "kok berani ya". Memang, tidak ada tendensi khusus selain by default senang menghadirkan percakapan secara lumrah, selayaknya dengan kerabat sendiri. Lho memang apa bedanya, berbincang dengan para tokoh jalanan dan kerabat sendiri?

Seni daripada memposisikan diri untuk melakukan pendekatan—yang tentunya—akan berbeda-beda. Namun tetap pada satu objektif, inklusi terhadap orang-orang di sekitar kita. Barangkali terdengar tidak terlampu perlu, tapi hariku lebih menyenangkan dengan itu. Seolah perasaan yang tak terbeli ketika mampu mengembangkan senyum naif di wajah-wajah itu, memasuki persepsi tiap lapisan masyarakat bukan lagi dengan asumsi  pun spekulasi, merangkul tiap elemen seakan mencari perlindungan ketika kita hanya berjalan sendiri. Menjadikan hal-hal yang melingkupi kita sebagai elemen dengan makna masing-masing; semisal sebagai pangkal kesenangan-kesenangan di luar pakem yang dirasa bosan. Sampai akhirnya kamu paham, keluar dari zona yang itu-itu saja adalah jauh lebih menyenangkan.

Kembali, bentuk implementasi dari hubungan antar sesama, seperti terlafadz syu'uuban waqabaa-ila lita'aarafuu inna akramakum 'inda allaahi atqaakum inna allaaha 'aliimun khabiirun (QS 49:13). Bukan perihal keberadaan seseorang atau kesetaraan status, karna yang saya tahu kita tak butuh merekognisi batasan itu.

Berbicara tentang rekognisi antar sesama, yang semakin kesini justru terasa semakin salah arah. Some of the times, humans are way too concerned with others, with people we don't even have the necessity to recognize. Talking about bad things of one's self to be exaggerated without any point. As I read: You who have believed, avoid much [negative] assumption. Indeed, some assumption is sin. And do not spy or backbite each other. And fear Allah; indeed, Allah is Accepting of repentance and Merciful. (QS 49:12).
And as I know, there are many worthwhile things to talk about, for the goodness of others to the surroundings, to reflect the positivity in every minute of the day we gratefully live in.

Sampai akhirnya, manusia akan tiba pada titik pembelajaran bahwa hidup hanya berputar pada mengerjakan banyak hal, terus berjalan, dan bertemu dengan berbagai lapisan orang. Untuk berdamai dengan toleransi, introspeksi diri, mendengarkan dan didengarkan, memaafkan dan dimaafkan, menguatkan dan dikuatkan...



Ba'da Magrib, di antara iqomat dan pendar lampu jalanan,
Semoga harimu selalu baik: Bermanfaat untuk Tuhanmu, sesamamu, dan dirimu sendiri.





19/11
Astrid Astari

You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine