Singkat di Jambi

December 27, 2017


Assalamualaikum wr wb,
Sedikit bercerita perjalanan tempo hari, Jambi 2017

Selasa, 19 Desember 2017
Tidak seperti pulang dari site visit biasanya, kali ini memang sengaja mengambil flight lebih malam. Tadinya mau besoknya sekalian, tapi takut dipecat lantaran seenak jidat.

Oke lanjut.

Dari site di Jambi menuju bandara Sultan Thaha Jambi kurang lebih ditempuh selama 3,5 jam perjalanan. Berangkat menuju bandara selalu dijadwalkan pagi-pagi pukul 5.30, hingga estimasi tiba di bandara pukul 9.00 WIB. Kebetulan lagi se-rindu itu dengan jalan-jalan nggak jelas seperti yang kerap saya lakukan sendirian. Yea, memang nggak jelas. Tapi insha Allah diniatkan untuk menyumbangsikan elemen-elemen kebermanfaatan bagi orang sekitar. Terlampu banyak mengalokasikan waktu sebagai pekerja urban, yang kadang terasa seperti kehilangan jati diri—apa yang sebetulnya benar dicari.

Tiba di Jambi airport pukul 9:15 WIB, saya langsung menuju loket check in untuk menitipkan koper. Lalu baru tau ternyata di security gate bisa nitip dengan mudahnya (even I don’t have to say my name) (atau karna mas-masnya begitu pengertian). Yha memang berbeda dari jalan-jalan biasanya, men-replace carrier 35L merah dengan tas laptop kantor lengkap dengan mouse dan charger.

Candi Muaro Jambi menjadi first listed destinasi jalan-jalan kali ini. Berlokasi di Kabupaten Muaro Jambi, berjarak kurang lebih 24 kilo dari Bandara. Tanpa menunggu waktu saya langsung memesan ojek online, yang ternyata tidak diperbolehkan menjemput penumpang di area Bandara. Bagi-bagi porsi katanya. Setelah meratapi supir ojek online dan ojek pangkalan adu mulut dalam dialek Jambi ngapak, akhirnya saya di hand over ke ojek pangkalan.

“Tapi tarifnya samain sama aplikasi ya mas.”
“Tambahin dikit deh, mbak”
“Yha berangkat dah”

Perjalanan dari Bandara menuju Candi Muaro Jambi kurang lebih 1 jam. Cak mano jauh kali! Sepanjang jalan hampir saya habiskan bercakap dengan Bapak Ojek. Pak Sikil namanya. Sikil = kaki?! Beliau seketika berubah menjadi penduduk Jambi yang begitu ramah, jauh berbeda dengan tutur lakunya saat adu mulut tadi. Saya menanyakan satu demi satu objek yang saya lewati. Maklum, baru kali ini jalan-jalan sendirian di tanah Sumatera. Pak Si’il menjawab dengan antusias, lalu inisiatif mengekspansi jawaban—semakin rinci, seperti bercerita sendiri. Dari mulai keluarga, pengalaman kerja, hingga tabiat masyarakat Jambi yang bertata-laku paling ramah se-pulau Sumatera katanya. “Iya Pak, tadinya saya kira Bapak galak. Ternyata lama-lama ramah juga”. Beliau terus menimpali dengan dialeknya yang tak bisa tak kental. Pak Si’il, badannya gelap dan tegap, persis seperti alumni militer (Atau barangkali alumni preman Sumatera), berhasil mengantarkan saya mencapai destinasi tujuan dengan penuh isi di dalamnya. Beliau menawarkan untuk menunggui saya sampai kembali ke kota lagi, dua tiga jam tak masalah katanya. 

Pukul 10:30 saya tiba di Candi Muaro Jambi. Pemandangan  candi siang itu berhasil memberikan impresi mengesankan untuk saya. Bongkahan batu bata menggunung membentuk dinding kokoh, terpetak di tengah bentang rumput hijau tanpa gradasi. Satu dua pohon menutupi gersang, memberikan nuansa adem yang enak dipandang. Berjalan mendekati pelataran candi, seketika teralihkan oleh pemandangan pasukan pramuka sekolah dasar sedang upacara. Dipimpin Pembina upcara, mereka memuncakkan sang saka Merah Putih, beriring lagu Indonesia Raya. Saya duduk di pinggir lapangan, menikmati instrumentasi di hadapan saya. Bukti Pancasilais yang bukan teori politikus, seperti langsung mandarah daging. Lantunan suara sang pasukan melengking di udara, memantulkan gaung di dinding-dinding batu tua.


Pelataran, 10:30 WIB

Sudah lama, tidak main ke Candi

Candi Muaro Jambi

Pramuka dan Merah Putih


  
Saya kian mendekat ke bangunan Candi, mencari angle yang pas untuk diabadikan. Lantunan padusa Indonesia Raya silir semilir menipis. Langkah saya melanjut ke Candi di atas pelataran sebelahnya. Ya jadi memang seperti komplek Candi disini, jaraknya tidak saling berjauhan. Pasti menarik sekali pikirku, memetakkan kisah historis di balik dinding-dinding bata ini. Sekeliling pelataran candi dipenuhi dengan Sewa Sepeda. 10.000 rupiah, sampai puas, asal dikembalikan. Hahaha penawaran macam apa.

Saya merental satu sepeda di salah satu rental pojok jalan. Benar saja, sepuluh ribu rupiah sampai puas. Konsep bisnis berbasis ikhlas. Saya mulai menyusuri jalanan kecil untuk jalur pejalan kaki bergabung dengan jalur sepeda. Beberapa kali bertanya pada penduduk setempat perihal jalur untuk sampai ke desa perumahan warga Muaro Jambi. Sampai akhirnya ditunjukkan jalan oleh seorang Bapak warga setempat yang juga sedang bersepeda, lalu kami berjalan beriringan. Perkenalkan, Pak Barma’in. Perawakannya kecil, terbalut sweater kuning lusuh, mengayuh sepeda hijau kecil yang pun sudah kumuh. Jerujinya kadang terlepas dari rel, mengharuskan beliau turun sejenak mengembalikan jeruji ke tempatnya. Saya ikut berhenti, menunggu prosesi yang cukup berulang-ulang itu ditangani.

“Sudah rusak, Pak?”
“Nggak mbak, Cuma kadang mesti dibeginikan.”

Dibeginikan, yang maknanya adalah dibenarkan, implikasi dari sudah rusak, tak lagi layak. Saya menarik nafas, memaknai hari itu sebagai momen bersyukur terhadap sekecil apapun hal telah dikehendaki untuk masing-masing manusia. Bukankah semua yang ada di dunia—jodoh, rezeki, mati—adalah kepastian dan sudah ditentukan? 

Pak Barma’in mengajak saya menyusuri jalanan kecil tepat samping sungai Batanghari. Saya tercengang, baru sadar ternyata daritadi saya berada di ujung sungai. Kayuhan sepeda terhenti di pos ujung Batanghari, mengabadikan momen mahal Bersama Pak Barma’in. Beliau memulai percakapan, pertanyaan-pertanyaan basic warga desa pada seorang pendatang yang terlihat “dari kota”, seputar orang mana dan datang darimana. “Pulang kerja Pak, pingin jalan-jalan disini, alhamdulillah ketemu Bapak.” Memang tidak bisa bohong, saat itu seperti kembali mendapat kesenangan yang benar-benar saya rindukan—berjalan dan bertemu banyak orang. Beberapa warga desa lainnya yang menyaksikan keberadaan kami berdua seraya saling menyapa; saya membalas dan menjabat tangan masing-masing dari mereka. Tak terlewatkan anak-anak penduduk setempat yang saling berpandangan, meminta disapa duluan. Saya menyalami seluruhnya, berkenalan. Ozzy, Desy, Linda, Mozza. Bagus-bagus ya namanya, nama saya kalah trendi. Lalu momen yang tak pernah terkecuali, foto bersama si anak-anak tadi. Dijepret oleh Pak Barma’in, ekspresi senyum sipu-sipu mengembang di layar kamera saya. Kepada anak-anak dan beberapa warga saya undur diri, melanjutkan konvoi Bersama Pak Barma’in. It was really nice to meet you..


Sepeda Hijau Pak Barma'in

Kawan bersepeda siang itu


"Poto dong mba. Biar masuk pesbuk."



Astrid & PakBarma'in

Kids, say cheese!

Sudah puas berkeliling desa dengan elemen interaksi di dalamnya, saya hendak mengembalikan sepeda dan berpamitan pada Pak Barma’in. Ucapan terimakasih yang dalam dari saya untuk seorang Bapak dengan perjuangan hidup untuk keluarganya yang luar biasa. Beliau berterimakasih kembali, meminta saya suatu hari main kesini kembali.

***

Saya kembali berjalan kaki, kali ini menyusuri warung-warung minum yang berjajar di pinggir pelataran candi. Pop Ice Cappucino, tanpa perlu perduli sudah berapa hari blender keruhnya tidak dicuci. Lima ribu rupiah, cukup mampu menyegarkan kembali kerongkongan saya di siang itu. Saya kembali ke Pos masuk Candi Muaro Jambi, tempat Bapak ojek saya menunggu saya berpuas-puas jalan. Pak Si’il melambaikan tangan ke arah saya, takut-takut tidak terlihat. Beliau duduk Bersama Pak satpam dan penjaga Candi yang menunggui pos, kepada keduanya saya menjabat tangan. Saya melebur dalam interaksi dengan kedua penjaga pos, hingga salah satu dari mereka memberikan kenang-kenangan untuk saya. Sebuah gelang dengan manik-manik kayu hitam, hanya ada di Jambi katanya. Bentuk apresiasi terhadap penerimaan hangat warga desa Muaro Jambi untuk saya, apresiasi terhadap kultur kental yang cukup primitive—namun tetap terbuka, apresiasi terhadap sequence hidup antar manusia, bahwa segala sesuatunya adalah berhubungan, dan selalu menjadi sebuah kebaikan yang saling berkaitan. Saya kembali diantar Pak Si’il pulang ke kota, meninggalkan senyap-senyap sirkumstansi desa.


Cuma ada di Jambi, katanya.

Siang itu hampir hujan, syukur sudah sampai duluan sebelum sempat kehujanan. Saya minta diantar ke Kedai Kopi Ahok, berlokasi di pengkokan Jalan Sudirman. Hasil rekomendasi teman kantor saya, kalau-kalau ingin cari kopi enak Jambi punya. Saya memesan secangkir Kopi Susu bersanding menu makan siang Gado-Gado. Seperti kopi Jambi cap AAA dicampur susu, tapi bukan. Ya apapun itu.


Kopi Susu Ahok

Tujuan destinasi di list saya sudah semua terpenuhi, hanya tinggal mencari pempek titipan Ibu. Ditemani oleh seorang kerabat kantor yang juga penduduk Jambi, saya diantar mencari pempek favorit sini, lalu berlanjut diperkenalkan dengan Jembatan Gentala Arasy. Konon katanya jembatan ini menghubungi penduduk asli Jambi dengan kota Jambi. Menarik sekali! Saya berjalan menyusuri ujung jembatan di atas sungai Batanghari, hingga turun di perkampungan seberang Kota. Menara kokoh terhubung dengan Masjid Agung Al Fallah: adalah menara masjid yang diperuntukkan untuk menggaungkan suara adzan.


Nyore

Sore itu cerah, silampukau menyoroti perahu-perahu getek yang berlabuh di pinggir daratan sungai. Hari itu, saya baru saja terdoktrin oleh kehangatan Kota Jambi untuk dikunjungi.

Menutup jalan-jalan singkat, saya kembali ke bandara. Jambi dan Desa Muaro Jambi; Tempat yang mampu menyumbangsikan kenangan kental untuk saya. Masyarakatnya hangat dan ramah. Retrospektif budaya yang tetap terbuka dengan arus globalisasi pun orang luar. Tidak terasa birokrasi materialis yang mewarnai interaksi. Hingga kearifan lokal dengan retorika yang berisi.


Since it always comes to be best feeling whenever I appreciate my life with engaging people, time, and places. To know where life should go, to find out when your restriction shouldn’t always be counted on.


Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya.



Salam,
Astrid Astari

You Might Also Like

2 comments

  1. Baru tau ,saya kira cm di Pulau Jawa ada candi, tenyata di luar Jawa juga ada.....keren liburan nya teh :)

    ReplyDelete
  2. awal 2017 pertama kali menginjakkan kaki di tanah sumatera jambi.. di jemput sodara dengan motor menuju daerah perkebunan sawit sei rengas, kab. batanghari.

    tepat di depan gerbang universitas jambi hujan turun cukup lebat. memutuskan berteduh dan mampir di warung mie ayam, unik, tiap meja ditaruh galon dengan keran. belum pernah sy temui di tempat lain.

    perjalanan dilanjutkan melewati sungai yg sangat besar, sungai batanghari. kalo di jawa udah kaya waduk.

    masyarakat perkebunan kebanyakan warga trans dari jawa. warga sini kaya, pekarangan rumah 2500 m2 dg kebun 1 ha. orang jakarta gak ada apa2nya dg rumah hanya 60 m2. hehe

    indonesia memang indah

    salam

    ReplyDelete

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine