Melawan Tua

September 16, 2017

“Wish you all the best”

Kiranya terdengar seperti template frase copy-paste di akhir ucapan ulang tahun, namun bermakna besar: semoga segala yang baik selalu menyertai. Aamiin ya rabbal alamin.

2 September 2017, tepat kali ke-23 saya beranjak usia.

Ingin sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mengapresiasi penambahan usia dengan selebrasi yang lebih bermakna—implementasi dari rasa syukur. Yea honestly, semakin kepala dua ke atas-atas—semakin tua hidup di dunia—semakin tidak berorientasi pada selebrasi gemas atau semacamnya. Orang inget aja syukur. Request surprise? Halah paling ketauan. Jadi seumur-umur, pernah dirayain ulang tahun cuma sekali pas umur 7 tahun. Attendees nya ya bocah-bocah komplek seumuran gitu lah. Tapi yang datang lebih banyak temen-temen arisan ibu kalo nggak salah. Feelin I’m not that cute to celebrate birthday with specific planner or something common like girls nowadays. Yah mungkin jiwa saya memang lawas.

Now playing: Koes Plus – Bahagia dan Derita

Awal hari, 8.00 WIB, saya berangkat dari rumah—setelah ritual tiup lilin ala-ala. Spesifikasi lokasi tujuan di hari itu masih halu sebetulnya, tempat yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Pernah sekali baca di surat kabar, banyak kegiatan sosial yang memang kerap kali menyentuh anak-anak daerah sana, karena keterbatasan ekonomi dan pengaruh buruknya lingkungan. Kawasan bernotabene “bahaya”, dalam persepsi nya masing-masing. Lalu siang itu, dengan commuter line jurusan Jakarta Kota, saya tiba di tempat tujuan.

Kampung  Jati Baru Tanah Abang, Jakarta Pusat, 11.00 WIB.

Kombinasi antara Ojek Online dan Ojek Pangkalan arah Cikini – Tanah Abang – Jati Baru menjadi akses saya untuk mencapai kawasan ini. Bermula dari mencari beberapa kebutuhan di daerah Cikini, lanjut ke daerah Tanah Abang, dan berakhir ke destinasi utama, kampung Jati Baru. Ojek yang mengantar saya ke daerah itu beberapa kali bertanya perihal maksud dan kepentingan untuk mengunjungi perkampungan tujuan. Barangkali beliau tau, kawasan “bahaya” yang orang juga malas berurusan. Terlebih ketika melihat seorang “mba-mba” sendirian, membawa tas ransel besar, tidak cakap menghafal jalanan, meminta diturunkan di pinggir jalan Tanah Abang. Bapak Ojek yang perhatian, barangkali was-was, akhirnya sempat beberapa lama menunggui saya di tempat saya turun, sampai saya bilang akan dijemput teman. Beliau kembali menyela kick starter motor tuanya seraya menitipkan pesan: Hati-hati di jalan.

Jati Baru. Sirkumstansinya pekik, terbalut dengan aksen jalanan yang terdengar tempik. Jalan raya yang dipenuhi seliweran kendaraan umum; agkutan kota, bajaj sampai kopaja. Di sepanjang jalan raya menjalar pertokoan lapuk, bersela gang-gang perkampungan warga. Sopir bajaj, bapak-bapak komplek, ibu-ibu di balik gerobak dagangan, anak-anak “pembersih sampah ibukota”, turut mensituasikan hiruk pikuk jalanan. Sedang di ujung jalan terlihat sibuk seorang kenek kopaja merayu bakal calon penumpang, kemanapun tujuan akan diantar! Ibukota yang terintegrasi, mengapa sebilang arteri tipis jantung ibukota seolah terbias? Apakah karna sistem yang terlampu mature, hingga garis batas antara kesenjangan rakyatnya tak menjadi penting?

Saya menapak turun di sepanjang  trotoar sempit menuju salah satu perkampungan. Celingak-celinguk mencari objek yang kiranya bisa ditegur sapa. Selang tak lama, saya menjumpai segerombol ibu-ibu sedang asyik duduk-duduk di depan sebuah warung, menyela dengan sapaan ramah, sejenak memecah rumpian seru betawi punya. Tatapan awal yang merepresentasikan mimik tajam dalam menghadapi orang luar, hingga akhirnya mereka berbalik sapa sekenanya. Saya seraya menyampaikan maksud dan tujuan, dan seraya pula masing-masing dari mereka menghempaskan reaksi tak kalah ramah. Selamat datang, mbak Astrid.

Yap demikian. Disini saya seolah menempatkan diri sebagai seorang backpacker dengan destinasi metropolitan. Perbedaan yang sangat signifikan antara menyentuh warga desa pedalaman dan warga perkampungan di Ibukota. Pada dasarnya sama, warga Indonesia yang sama-sama ramah dan senang menyapa. Hanya saja terbalut kulit yang berbeda. Warga ibukota, pada prinsipnya selalu berhadapan dengan aksentuasi kasar di setiap ritme memperjuangkan hidup. Berujung pada bentuk penerimaan, perangai masing-masing personalia terhadap orang-orang yang meliputinya. Kembali, semua orang pada dasarnya adalah baik, hanya saja tercermin pada kapasitasnya masing-masing.

Saya membuka percakapan, disusul dengan anak-anak dari masing ibu-ibu yang kompak menghampiri saya—lebih tepatnya menyerbu saya. Anak-anak berumuran sebaya, balita, hingga bayi yang digendong sang Bapak. Mereka menyapa saya bersautan, saya balik menyapa satu persatu, menanyakan namanya masing-masing. Ada yang mencoba menyanyi, sembari geal-geol yang gerakannya sulit diidentifikasi. Sampai akhirnya semua anak ikut bernyanyi, lagu selamat ulang tahun yang pun tak berima. Haha gemas sekali! Saya mengeluarkan GoPro yang terkait di ujung stick, menghadapkan lensa ke arah saya, bocah-bocah gemas, dan ibu-ibu yang tak terkecuali. Lalu selalu menjadi momen penuh antusias ketika mereka melihat refleksi dirinya di layar handphone. Mana puas sekali jepret. Baiklah, “sekali lagi ya dek”.

Blessed :)

They are so kyot.

Dikasih pak satpam stasiun Cikini, dari Anonim. Hm.

Kurang lebih setelah satu jam, saya undur pamit. Warga perkampungan itu menyalami saya; dari ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, hingga bayi yang tangannya digerakkan oleh sang Bapak—supaya turut bersalaman juga. Saya pulang ke stasiun Tanah Abang dengan diantar oleh salah seorang pemuda warga perkampungan. Seperti kehangatan tersembunyi di tengah stereotype “bahaya”, setelah penyampaian tujuan yang diniatkan lillahi ta’ala.

2 September di tahun ini memang terasa berbeda. Jelas, memasuki umur baru pada stage of life setingkat lebih atas dari sebelumnya. Berbagai ucapan mengharukan yang turut menuntun saya mengucap syukur berulang kali. Teman-teman yang mengirimkan berparagraf ucapan dan doa, yang berbaik hati menyuguhkan api-api kecil di ujung lilin, buah tangan perlambang kado ulang tahun dengan kebermanfaatannya masing-masing, serta teman-teman yang memaknai sebuah “inspirasi” dari sebagian kecil diri saya; Semoga mampu menjadi pribadi yang disemogakan.

Hari itu saya tidak langsung pulang ke rumah, perihal menemui kerabat dengan tujuan acaranya masing-masing. Dan bukankah berdiam diri di rumah saat berulang tahun hukumnya makruh (?)

....Semoga panjang umur dan sehat selalu.

Saya ingat pesan Bapak yang tak pernah tertinggal: Baik menjadi orang penting, namun lebih penting menjadi orang baik. Baik yang tak butuh alasan, namun bermakna plural. Berpijak pada kuantitas umur yang lebih banyak, berpijak pula pada kualitas diri yang—seharusnya—lebih matang. Berada di umur yang bukan lagi mengikuti, namun membentuk jati diri. Yaitu untuk lebih cakap memilih mana yang salah dan yang benar. Mana yang perlu, mana yang sekiranya membuang waktu. Untuk mampu melihat kapabilitas diri, bahwa banyak hal lebih penting yang perlu dibenahi. Seperti: how to implement self positioning. How to deal with others. Ya, saya selalu menikmati seni daripada memposisikan diri dengan berbagai tingkatan manusia di hadapan saya—supaya sama rata. Pun seni berkomunikasi dengan bermacam karakter: tutur bahasa, intonasi, pola pikir, dan lainnya. Seolah perasaan “menang” ketika mampu menguasai karakter lawan bicara dengan tutur laku yang sederhana: mengalah. Seperti pesan Ibu yang pula tak pernah tertinggal: Mengalah saja, itung-itung ibadah.

Remembering the stable where  for once in our lives
Everything became a You and nothing was an
It
-On God and Other Unfinished Things

Kembali. Seperti mentari dari ufuk timur, bergeser ke ufuk barat, berlembar-lembar, menjadi minggu, menjadi tahun, membentuk dasawarsa, hingga tak terhitung lamanya. Lalu ada yang tertinggal sebagai masa lalu, ada yang kelak dihadirkan sebagai masa mendatang. Bentuk implementasi dari mengintegrasikan diri, menjadikan masa lalu dan permasalahan hidup sebagai bahan konkret pembelajaran. Atau bentuk memantaskan diri, sebagai critical operational control yang hanya mampu manusia kehendaki. Agaknya terdengar normatif. Mungkin begini implikasinya, jikalau kamu paham, menjadi pribadi lebih baik adalah produk dari proses mengilhami masa lalu sebagai bagian dari seknario kehidupan. Bukankah manusia hanya lakon reinkarnasi—yang pada akhirnya akan tetap sama—kembali pada yang menarasikan?


Selamat pagi menapak dua puluh tiga.



Best regards,
Astari, Dirgawijaya

You Might Also Like

0 comments

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine