Kali ini bersama kopi hitam lokal di
bilangan selatan ibukota. Waktu Indonesia bagian senja (woela indie abis). Rabu petang, sebelum Magrib mengumandang.
Nggak ada tema kusus, pun memoar
perjalanan seperti tulisan biasanya. Justru karna nggak ada waktu jalan-jalan, jadi
menulis saja sekenanya.
Some of thoughts, the
question following those thoughts, and other phrases.
Stel lagu dulu lah,
playlist instrumental Piano
Guys
Berseling playlist
lawas seperti biasa
For the things that
has been passed, and the values that come along with it.
Diawali dengan pertanyaan, do you
ever feel like, or consider your self, as an observer of your circumstances?
Some of the times, I do. Observer
disini maksudnya saya melakoni peran sebagai pengamat, assessor dengan segala
macam parameter penilaian. Simplenya, when life meets problems, you are not in
that circle of problems. Tiba-tiba lo ketemu exit door dari panggung sandiwara,
lalu beralih peran menjadi pengamat cerita: yang tugasnya bantu-bantu di
pinggir panggung.
Yeap. Because their problems are
not mine, so I’d rather go. Bukan kapasitas saya untuk ikut intervensi, atau
menasehati which doesn’t
always punch right to the point. Kecuali, kalo saya memang punya peran untuk
tiba-tiba muncul di panggung sebagai advisor. Ya kan, tugasnya memang bantu-bantu.
I ordinarily pay attention to
orang-orang yang sedang marah-marah atau apapun bentuk transformasi lainnya
dari emosi. Lalu dalam hati bergumam sendiri: “Woah ada juga ya orang kayak gini-gitu”. Belajar. Belajar mengerti kondisi setiap orang di
sekitar kita yang (jelas) tak ada yang sama. Kadang pembelajaran datang dari
hal yang tidak diprediksi, betul?
But serious, all those scenes
menjadi media saya untuk belajar menghargai semua orang secara lateral. Kita
nggak melulu harus disenangi orang lain, tapi setidaknya, berusaha untuk tidak menyinggung
perasaan orang lain. Sebab definisi
baik agaknya terdengar relatif.
Juga masalah. Kembali ke ukuran
relatifitas seberapa kamu memaknai hal tersebut sebagai distraktor, non
conformance of life. Masing-masing orang punya masalah yang jelas berbeda-beda.
Besar kecilnya tak sama. Masalah semakin besar ketika seseorang terlampu fokus
pada masalah miliknya, tanpa meposisikan dirinya sebagai makhluk sosial yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Padahal dengan mencoba membesarkan orang lain, masalah yang katamu biggest problems itu akan
perlahan terkikis, teralihposisikan dengan hal positif: membesarkan orang lain.
You know, there are two ways to spread
the light; be a candle or a mirror to reflect it. Merefleksikan cahaya,
mendispersikan manfaat untuk orang di sekitar. Dan lalu, cahayamu kelak
berpendar lebih terang….
Mari kembali ke konteks rindu
jalan-jalan. Selalu ada philosophycal-contemplative-thoughts whenever I come to
condition “Kurang Piknik”. Yea, lanjut.
Terlalu fokus dengan monotonitas aktivitas sehari-hari, sampai
akhirnya manusia kurang menghargai pergerakan waktu. Waktu yang tidak hanya
perihal detik dan menit. Namun kualitas cerita yang dilaluinya. Barangkali kita
lazimnya mengalami stagnasi hidup di fase waktu tertentu, padahal hari sudah
tiba-tiba petang, shubuh kembali, lalu malam, hingga bertahun kemudian.
Lalu hadir pertanyaan berikutnya, what is your life purpose for?
Ibadah. Mengembalikan seluruh kepemilikan diri pada yang
meminjamkan, dengan cara-cara yang agamaku, agamamu anjurkan. Itu point satu. Point dua, mungkin
bagi Konglomerat itu hidup adalah untuk membeli tiga empat private island untuk proyeksi dua
dasawarsa ke depan. Kalau kata Bapak Company-man, hidupnya untuk kelak menjadi Chief Executive Officer Multinational Company
nomor 1 di pasar global. Atau untuk menjadi aparatur negara, demi melahirkan legitimasi, doktrinasi, hingga banyak hipokrit. Ah rumit! Lebih sederhana, kata Bapak tukang becak, hidupnya untuk
menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA saja, cukup.
Jadi boleh saja dispekulasikan—saya menimpali—hidup adalah perihal terus berjalan. Berjalan bukan hanya dengan kaki yang terus melangkah,
namun pikiran yg secara dinamis memandang ke depan, dan hati yg selalu bisa
menjadi reaktif dalam pelbagai hal positif—tak hilang arah tujuan.
Manusia pada dasarnya memiliki bakat untuk memplotingkan dirinya
di posisi posisi tertentu, people do adjust, then assess. Then those positions are familiarly known as dreams, mimpi dalam hidup. Hanya tinggal
bicara masalah rasionalitasnya saja. Dan bagaimana proses untuk mengejarnya. Make your dreams come true! Saya kagum
dengan orang-orang besar yg sudah memberikan valuable times nya ke orang
banyak. Valuable times dan kebermanfaatan bagi orang banyak, karna frasa
keberhasilan pun terdengar relatif—ukurannya tak valid. Saya kagum dengan
mereka-mereka yang sudah melangit, namun hatinya tetap membumi. Dengan
mereka-mereka yang tak pernah lelah melafalkan doa. Bentuk pasrah sesungguhnya,
optimasi usaha dengan ekspektasi yang begitu indah: ikhlas lillahi ta’ala.
Demikian pula kerinduan saya dengan jalan-jalan:
Refleksi nyata dari implementasi “hidup yang berjalan”. Jadi ya gitu. Lebih dari 3
bulan nggak jalan-jalan darah saya rasanya kurang semangat mengalir. Saya jadi
ingat cerita Bapak, jaman saya kecil, baru sampe rumah dari mudik tengah malam langsung minta jalan-jalan lagi. Petakilan dan mbedis. Ya nggak heran gede nya macem gini.
Jalan-jalan pun proses. Destinasi tujuan saya ibaratkan
plottingan mimpi—yang harus dicapai. Namun proses perjalanannya yang lebih meninggalkan kesan. Bagaimana refleksi manusia ketika dihadapkan dengan
bermacam sirkumstansi. Again, people do adjust. Saya selalu senang dengan seni
daripada menyeterakan diri dengan orang-orang di sekitar saya. Apa karna notabene
“perempuan”, jadi akan lebih mudah diterima? Rasanya tidak juga. Saya percaya, semesta
akan berpihak pada niat baik yang disertai attittude baik. Kembali, konsepnya konvensional,
semua orang pada dasarnya baik, hanya saja terbatas pada kapasitasnya
masing-masing.
Sebentar, meneguk kopi dulu sebelum merampungkan cerita.
Ngomong-ngomong tentang
kopi. Kopi sore ini mengingatkan saya dengan rasa
secangkir kopi hitam yang disajikan bersama ketan bakar dan pempek goreng di
Selatan Sumatera, kota Palembang. Waktu itu bersama Pak Samsudin, Bapak tukang
Becak yang saya tumpangi. Siang itu pukul 13, menunggu flight sore kembali ke
ibukota. Biasa, pulang kerja
lapangan. Saya ide jalan-jalan keliling kota yang ujungnya
main di pasar. Haha saya memang suka dengan pasar! Di samping jajaran tukang
jualan pisang, saya duduk di warung kopi yang terselip di antaranya. Selain
pasar, ketertarikan saya juga mengerucut pada orang-orang tua instrumen
jalanan. Entah kenapa, ada unique value dan terasa lebih
natural… Jadi pas lah saya duduk ngopi dengan Pak Samsudin ini. Beliau
kelahiran 64, memang 100% asli dari kota Cuko dan Pempek. Percakapan antara kami berdua memerlukan effort lebih untuk
men-translate Bahasa Palembang terlebih dulu, baru saling menjawab. Beliau
cerita, hasil narik becak digunakan untuk
biaya anaknya sekolah sampai lulus SMA, cukup. Ya demikian. Cerita Pak
Samsudin masih kental teringat untuk menjadi objek perumpamaan mimpi yang sederhana tadi,
namun terdengar mewah. Juga korelasi dengan kualitas waktu, untuk lebih banyak berjalan dan bertemu banyak orang Menghargai impian-impian yang mengambang di luar sana. Untuk mengerti,
bahwa masalahmu belum ada apa-apanya.
Cause in the end, what
remains from the long-life story is just the essence of value, quality of time, our sincerity to comprehend,
And an integrated heart to answer our own questions with the peaceful mind.
Barangkali sekian