Banyuwangi, 2019

April 21, 2019

Tulisan sepulang perjalanan
Melipir sejenak di café kotaku tinggal
Kota Hujan, stereotype yang tak akan lekang
Pukul enam belas Ahad
Saya rindu menulis..

Tak terlampu spesifik, hanya ingin menyalurkan pemikiran tentang cerita perjalanan serta korelasinya dengan kebaikan. Hampir selalu menjadi hal yang saya maknai, mendapati orang-orang baik ketika melakukan perjalanan. Walaupun baik itu sendiri jauh dari absolut; Sangat relative. Dari sudut pandang siapa, terhadap objektif/subjektif apa, dengan maksud sebenarnya yang tak terukur dari spekulasi. A lot of uncertain aspects. Namun ada yang berbeda dari hal-hal logis, adalah ketulusan dan keikhlasan daripada senyum yang mengembang, atau jabatan tangan yang terulur, terkemas menjadi hal yang sedemikian borjuis. Kembali ke makna relatifitas daripada sebuah kebaikan; yang mana setidak-tidaknya, melunturkan seluruh tendensi untuk berpikir buruk atas seseorang, atau barang suatu hal. 


Tak ada maksud lain dari perjalanan tempo hari selain memberikan spasi pikiran dari riuh rutinitas ibukota. Nampaknya vibes materialis dan hal negatif lain yang melingkupi terlampu kental terseduh dalam teh tawar panas saya setiap pagi.
Jawa Timur menjadi pilihan destinasi di hari pasca Pemilu. Rencana awal ialah menapaki Ranu Kumbolo. Namun sayang, pengunjung belum dipersilakan menginjakkan Semeru karna alasan cuaca. Atau birokrasi pariwisata? Ya apapun itu. Kemudian rencana perjalanan digeser ke arah lebih timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Kota dan kabupaten ini memiliki beragam destinasi apik, tak heran banyak wisatawan meluang kemari. Tak hanya tentang destinasi, penduduk di dalamnya juga demikian ramah terbalut dialek Jawa Timuran. Bersama tiga orang rekan kerja, perjalanan kami bermula di stasiun Gubeng Surabaya, road trip menuju Probolinggo, hingga Banyuwangi. Baluran, Kawah Ijen, mengejar Arunika dan Swastamita pelupuk barat hingga timur Pulau Jawa.

Saya hendak bercerita tentang Bapak Nelayan pesisir Baluran yang saya temui ba’da Shubuh, sengaja menunggu matari terbit. Perawakannya kecil, terbalut kaos berkerah yang sedikit kebesaran. Rambut putihnya tertutup kopyah, masih terpasang setelah menunaikan Shubuh. Raut wajahnya tersenyum ramah, pun tak ada terdengar intonasi materialis di sela ucapannya. Saya memulai percakapan normatif seputar jam pasang surut, waktu berlayar, hingga tempat tinggal. Selang setahun akan genap setengah abad rupanya. Beliau bercerita dengan antusias pukul 5:30 pagi, saya senang mendengarkan. Tuturnya halus, sedemikian genuine menceritakan karirnya menebar jala. Ketika itu perasaan jenuh dan penat bekerja agaknya sedang menumpuk. Entahlah. Barangkali sedang dihadapkan dengan exposure pekerjaan yang repetitif dan menguras tenaga. Seperti lelah—pada taraf masing-masing personalia. Lalu saya berkaca pada kisah hidup seorang pria paruh baya dengan pengalaman 35 tahun berlayar, kadang mesti menambal perahunya dulu untuk tetap terambang di laut, mengais penghidupan.

Saya senang bersimpuh di tengah orang-orang baik, rasanya seperti ditemukan. Ditemukan untuk melunturkan jenuh, untuk lebih bersyukur atas yang dimiliki, dijalani, pun yang ditinggalkan. Saya senang menceritakan perjalanan beserta orang-orang baik di dalamnya, alih-alih dapat menjadi inspirasi bagi yang membaca. Sometimes life gets hard, unplanned and full of surprise. Tidak ada justifikasi yang jelas selain mampu menjustifikasi dirimu sendiri. Tidak pun ada manusia dengan keyakinan utuh akan segala hal, karena tingkat depedensi terhadap manusia lain agaknya terbangun sesuai proporsi. Namun hal yang terdengar pasti, “Terus saja menjadi orang baik. Jika beruntung, kamu akan menemukan orang baik. Jika tidak, kamu akan ditemukan orang baik.” Berfokus pada kebaikan diri sendiri kepada orang lain, serta interpendensi di antaranya untuk saling menghargai. Kalau kata Ibu saya, berbuat baiklah tanpa alasan, insyaaAllah kebaikan-kebaikan lainnya akan selalu menyertai.


Keeping up the next stage of life with another level of self-adjustment; 
How life comes off and reconciles with the past and present 
We know, some things are better left to recognize whats coming up next 
Be happy to see yourself growing up; 
And more mature to value the true acceptance 
Because life is about how we wisely live in our preferences, 
And pursue the happiness.

Salam.


You Might Also Like

1 comments

  1. thank you for always share the positive vibes mba astrid, wish the best of luck for you hehehe

    ReplyDelete

About Me

Astrid Astari

Female, 25 years old

Books shelf at a tea room;

sometimes I write there


Get Into A Spoon of Mine

Get Into A Spoon of Mine