[02/09]
Cerita kali ini perihal
menyambung rutinitas yang selalu saya lakukan tiap berulang usia. Melawai
menjadi tempat saya berkunjung sore sepulang kantor. Ibukota yang masih cerah
dengan seluruh ornamen jalanan yang tergelar di mayoritas pembuluh trotoar.
Langkah saya lantas menuju warung gorengan Ibu tua di plesir kanan pedestrian.
Memang sudah cukup sering kemari, hingga beliau hafal. Tak lain dari memesan
teh panas dan kacang bungkusan sebagai komplemen obrolan. “Warung nasi sebelah
sudah tutup mbak kalau jam segini” beliau menjelaskan seketika saya melongok ke
warung sebelah. Biasanya ada warung nasi langganan yang juga rutin saya kunjungi
tepat bersebelahan warung gorengan; jadilah saya beralih ke warung nasi
langganan lainnya di seberang Melawai 6. Saya duduk di dingklik kayu, menyapa
sang Ibu penjual dan memesan bergantian dengan pembeli lain. Nasi, ayam kecap,
orek tempe, bihun dan sambal. Tak mahal, namun sekiranya cukup untuk disantap
malam.
Kurang lebih pukul 16:40, langkah saya tersangkut di pertigaan ruas Melawai. Adalah perjumpaan pertama saya dengan seorang Bapak pedagang parasut… Kamu tau mainan parasut-parasutan? Kalau saya sangat familiar dengan mainan ini lantaran sudah diperkenalkan dari sejak kecil. Saya sengaja berdiri di sebelah Bapak penjual parasut tersebut, penasaran. Memperhatikan sang Bapak memainkan parasut merah belang putih—menarik atensi lalu lalang. Wajahnya selalu terlihat antusias, sambil terus melambungkan parasut ke udara hingga untaian plastiknya jatuh kembali membentuk balon terbang, digelantungi orang-orangan plastik sebagai pemberat.
Saya masih berdiri di sebelahnya,
membelakangi bajaj-bajaj yang tak henti menawarkan jasa transportasi. Berlaga
sedang menunggu ojek online menjemput, saya meminta izin untuk tetap berdiri di
persimpangan itu.
“Saya numpang nunggu disini ya Pak”
“Bilang saja seberang toko emas
Melawai, abangnya pasti tau”
Beliau mengarahkan tempat penjemputan
ojol, yang padahal memesan ojol pun belum saya lakukan saat itu. Saya bertanya
seputar parasut yang beliau jual. Beliau menjawab pertanyaan saya ramah sembari
terus memainkan parasut, 10 ribu satunya. “Jaman saya kecil juga selalu mainan
ini, Pak”. Kadang untuk membuka percakapan mesti mengulas kisah personal lebih
dulu supaya terasa lebih cair. Beliau kemudian bercerita seputar karir berdagang.
Sudah 30 tahun membuat sendiri mainan parasut dan menjualnya. Lokasinya pun tak
berpindah sejak dulu, di persimpangan melawai itu. Beliau melanjutkan kisah, di
Jakarta hanya tinggal seorang diri rupanya, anak dan istri tinggal di kampung
halaman di belahan Jawa Barat. Kisahnya tak dilontarkan dengan aura pilu, tetap
dengan mimik meringis dan tersenyum. At the end of time, people will accept the
fact of conditions that require them to survive. Toh mau gimana lagi?
Saya melontarkan pertanyaan silih berganti lantaran kisahnya terdengar menarik.
Begitupun beliau, barangkali turut senang ketika seorang asing yang menyamar
menjadi pembeli bisa menjadi rekan bercakap di jam akhir ia berjualan. Saya
izin pamit pulang, kali ini ojol saya memang benar sudah dekat lokasi
penjemputan. “Untuk Bapak makan malam”, saya menyelipkan nasi bungkus Ibu tadi
di sela jabat tangan kami sore itu.
Kadang yang membekas dan meninggalkan
kesan menjadi substansi yang perlu ditulis, diceritakan. I love the art of
genuine conversation and the sincerity of one's heart. Bahkan lebih dari itu,
ketika delusi materi menjadi tidak lebih penting dari hari-hari yang penuh
makna. Menapaki 25 tahun dengan kisah sosok pedagang parasut, menambah butir
resolusi untuk lebih mencintai apa yang kita miliki. Bukankah tidak pun ada
yang mampu membandingkan jalan Rizki masing-masing umat? We should keep
this in mind: you owe everyone a basic level of respect for being a fellow
human being, but your level of respect for others will vary from person to
person. Just be kind and polite to everyone, and universe will be kind to you
too.
Saya pulang dengan satu buah parasut,
buah tangan hari ulang tahun.
Salam