Mengulas beberapa pekan lalu, ketika
sumbu api ibukota dinyalakan para demonstran. Sekerumun manusia berbalut sorban
putih sembari membentangkan spanduk, memboikot sepanjang protokol. Serentak menggerungkan
mesin suara, melafalkan ayat suci yang terbalut aksen diplomasi. Lalu
pertanyaan yang kerap muncul, apakah sekerumun di belakang—yang terpisah jauh
dari spanduk dan diplomator pemimpin pasukan—boleh jadi tidak mengerti akan
lafadz ayat yang sedari tadi diserukan? Dan lihat kaum muda millennial yang
sibuk mendokumentasikan dirinya, bangga atas balutan kain berwarna suci diantara
ratus ribu pembela agama, demi kepentingan citra media. Barangkali mereka kaum
provokator yang pasalnya berkonsep sekularisme—mempromosikan tatanan sosial yang
memisahkan agama dan sistem pemerintahan. Hanya supaya terkesan nasionalis,
untuk ibukota yang anarkis.
Sedang di pinggiran pusat
ibukota, kaum marjinal sibuk menyaksikan advokasi plural para aparatur negara
dari layar Televisi cembung 19 inch yang terpasang di pojok atas warung nasi. Perihal
visi misi normatif pasangan calon untuk Jakarta, yang kadang terdengar tidak
tepat sasaran. Komentar saut menyaut antar pelanggan terluap bersama nasi yang
belum tuntas tertelan. Adalah kontributor suara terbesar untuk putaran kedua
nanti, kaum marjinal yang tak terurus, hanya berangan satu perubahan basic yang
mayoritas sama: Egalitarianisme. Paham bahwa perlakuan sederajat terhadap setiap
orang adalah keutamaan, bukan terus menjadi seonggok marjinal di negeri panjat pinang—yang
dibawah tetap diinjak-injak oleh yang di atas.
Kota Jakarta yang historis, indah
dan sejahtera. Hanya saja terkesan kasar dan individualis. Barangkali orang
lupa bahwa menebar senyum dan saling sapa, adalah bagian dari kemewahan bersosialisasi.
Kerumitan yang terjadi ketika timpang sosial dijadikan pagar pemisah yang rigid, sedang kesejahteraan sosial bermula dari nurani keseteraan dalam
tiap individu itu sendiri. Lalu kerumitan menjadi-jadi ketika distorsi nilai
dalam arus globalisasi menghimpit setiap ruang gerak, menyusupkan ekses dan dampak
budaya digital: meminimalkan komunikasi.
Lalu, apakah aksi para demonstran,
visi misi pasangan, dan kaum marjinal, adalah hal-hal yang saling tidak
berhubungan?
15/03