Tiga kurang sepuluh sore, di pelataran warung kopi jantung ibukota.
Arabika Wamena bersanding Barry
Gibb bersaudara.
Perihal ingin menuangkan sedikit
tulisan tentang aktivitas yang kerap saya lakukan: Solo backpacker.
Traveling ala backpacker, sendirian,
dan perempuan. Membuat saya sudah cukup kenyang ditimpa pertanyaan lalu lalang
yang sekelibat terlontar, “mba sendirian?”.
Selintas terdengar basa-basi, namun diulang berkali-kali. Saya membalas senyum,
menjawab dengan template ringan, lalu melengos pergi.
Suatu ketertarikan yang elementer
untuk melancong ala backpacker; melakukan perjalanan dengan budget minim, namun
terasa lebih berkesan. Jeans santai, jaket, carrier merah 35 L yang hanya terisi
seperlunya. Mencari akses transportasi hingga penginapan dengan pertimbangan
efektifitas biaya dan jangkauan perjalanan. Menyiapkan rencana perjalanan
berikut alternatifnya dengan fleksibilitas diri dan pola pikir ketika situasi
tidak sejalan. Mengatur pola makan dengan konsumsi secukupnya—yang penting
perut ‘nggak keroncongan’. Keuntungan
bagi saya sebagai seorang yang bisa tidur dengan cepat dan nyenyak dimanapun
berada, menjadikan alur backpacker saya tidak mesti dipusingkan saat mencari
tempat bermalam, asal aman dan bersama sesama traveler perempuan. Dan yang
paling penting, adalah untuk tidak melewatkan ibadah dan selalu berdoa. Hingga
sampai pada sisanya, keberanian diri yang mengokohkan langkah untuk
meninggalkan sejenak zona aman saya.
Berangkat dari niat dan tujuan melakukan
solo backpacker, ialah bukan sekadar pencapaian atas berbagai tujuan destinasi,
dokumentasi, atau kesesuaian itinerary. Semua orang bisa saja mencapai
destinasi terjauh—hingga memutar dunia sekalipun. Adapun dokumentasi yang
dirasa cukup sulit untuk mengabadikan foto diri di tengah pemandangan alam terbentang
selain tanpa bantuan tongsis; atau mesti meminta bantuan wisatawan lain—saling barter. Juga pencapaian yang bukan sebatas kesesuaian itinerary, sebuah rencana perjalanan manusia,
yang selalu bisa berubah menyesuaikan bermacam situasi yang kelak akan
dihadapkan.
Solo backpacker untuk saya, memaknai
perjalanan sebagai pengenalan terhadap seluruh diversitas elemen yang
meliputinya; orang baru, tutur laku dan dialek baru, budaya baru, hingga pandangan
baru. Berjalan sendiri, melepas seluruh atribut diri dan melebur ke dalam
masyarakat setempat. Menelusuri jalan
besar hingga jalan setapak, mencari objek jalanan yang memungkinkan saya
bertemu orang banyak. Begitupun dengan akses transportasi yang kerap saya
gunakan, dimana transportasi umum agaknya mampu membukakan batas relasi antar manusia
yang lebih luas. Seolah mentransformasi proses pencapaian destinasi tujuan
sebagai alegori tegur sapa dan menebar kebermanfaatan.
Lalu ada yang lebih menarik
daripada kecanggihan digitalisasi penunjuk arah smartphone, yaitu komunikasi
natural dengan penduduk setempat perihal menunjukkan “jalan”. Seperti suatu
siang di Kota Gede Yogyakarta, menumpangi becak seorang Bapak Tua. Komunikasi
yang semakin hidup mampu mandatangkan berbagai kemudahan ketika saya berjalan sebagai
pelancong tak berkendaraan pun tak menahu jalan. Beliau mengantar saya hingga
mendapatkan kendaraan selanjutnya, Kopaja yang hanya sesekali melintas. Kepada
sopir Kopaja, Bapak Tua menitipkan saya. Lalu saya mencium tangan beliau,
berterimakasih dan berpamitan. Seolah menjadi klise menarik yang selanjutnya,
bahwa perjalanan sendirian mampu termanifestasi menjadi perjalanan
beramai-ramai; hubungan habluminannas yang substansial.
Memaknai suatu perjalanan sebagai
sebuah pengenalan pada hidup, bahwa hidup akan selalu berjalan. Bahwa hidup
adalah pertemuan dengan hal-hal baru, yang pula selalu diikuti perpisahan.
Adalah kesenangan dalam diri ketika dialektika tegur sapa mampu menjadi reminisensi
yang terekam apik bagi sebagian orang. Melawan garis batas zona kenyamanan diri
untuk mengasah daya resiliensi—kapabilitas diri, untuk mampu berjuang sendiri
di tengah keramaian, yang sejatinya menemukan pribadi diri lebih jauh dari yang
sebatas tercerminkan.
...dan untuk selalu bersyukur dan rendah
hati; karna perjalanan mengajarkan masalah-masalah yang dianggap begitu berat
dalam diri, hanyalah sebesar titik di antara kutub pepat bumi.
So, how could you not go traveling?
Tertanda,
Astrid A. Dirgawijaya