Malam hari, sebelas tiga puluh
Membekam telapak tangan dalam poket sweater, terkepal
Lamat-lamat terdengar lagu lawas dari kabel telinga. Temponya
melangut
Menapak tergontai, menendang kerikil pelan-pelan, menyeka
kubangan sisa hujan
Kembali memutar memori,
Tentang dialog malam itu...
Menanyakan dua tiga konflik yang sudah diulang-ulang, seolah
sekadar meyakinkan
Menagih konklusi yang akhirnya toh masih saja mengambang
Lalu hadir sepasang lakon berdialog dalam satu diri,
“Padahal asertif saja”
Asertif
Salah seorang lakon menyaut pertanyaan,
“Jadi sebenarnya,”―lebih dalam, “Seperti apa yang benar
dibutuhkan?”
“Dengan apa seharusnya bersimpul; excuse atau retensi?”
Dialog itu mati. Lalu
mentransformasi simpul pikiran ke hati—dua arah
Menghadirkan bingung-bingung yang tidak ramah
Barangkali bingung yang lebih bertendens pada: masih mencari
kemungkinan yang paling baik?
Tidak juga
Kemudian ada melankolisme di dalamnya
Merapuh kembali, mudah runtuh; kalau kamu faham
Kalau Tuhan-mu memang berkehendak demikian
Tentang dialog malam itu,
Membawa kebenaran dan kekaburan semakin terasa sumbang
Namun yang saya tahu, memurkai perasaan bukankan tak ada menanggung
dosa?
Dan bukankah, ada yang lebih menarik daripada meratapi
sampah dunia?
A’udzubillahi
minasy syaithonir rojim
Bismillahirrahmanirrahim,