Cerita Sopir Bus
November 11, 2016
Yogyakarta, 2013. Pukul 14:30
hari itu lebih gelap berawan. Suatu perjalanan menuju Kabupaten Kulonprogo menumpangi
bus tujuan Yogya – Wates. Bus nya reot, agaknya tidak untuk ditancap gas terlalu dalam, jelas knalpot nya berkerotak. Cat
luar bus hijau lumut pudar, semakin memudar dengan motif kelupas: dibakar
matahari. Bus itu tetap ramai penumpang, kebanyakan pedagang yang memborong
sayuran, kletikan losinan. Dagangannya bercecer, memakan dua sampai tiga bangku
penumpang. Si pemborong merangkul dagangan, takut semakin bercecer. Sedang di
depan pasar berjejer truk sayur siap angkut. Barangkali bus reot itu akses
transportasi termurah: jauh dekat empat ribu rupiah.
Saya duduk tepat di belakang
bangku sopir bus. Jok nya coklat susu pudar, kainnya tidak utuh, memungkinkan
busa mold kuning jok timbul keluar. Penumpang
bus semakin bermacam. Kini saya duduk bersama salah seorang ibu pemborong; ada pun di pojok belakang seorang bapak tua menenteng karung pisang, lalu pemuda yang
berlagak fasih menghirup puntung asap bergelantung di pintu―merangkap
kenek. Seolah kehidupan yang nyata: ada bau minyak wangi, tapi ada juga bau
petai. Bahkan jengkol. Ada bau kretek, peluh, dan bensin. Tak cuma parfum
impor.
Perjalanan dinuansai dialog dan
guyon dalam Jawa kromo. Si sopir turut menimpali: semakin luwes. Penumpang lain
turun, bahu-mebahu memikul borongan yang dibalut rafia. Hanya bersisa saya dan
sopir bus yang kembali menggeser persneling, gigi satu. Sopir bus memulai
bercakap dalam bahasa, tanpa mampu menghilangkan dialek inggil. Saya menjawab
asal Bogor, tapi masih darah Jawa. Perihal ingin mlaku-mlaku ke salah satu wisata kota Wates, mumpung masih di Yogya.
Bapak sopir itu kemudian bercerita, “Saya belum sempat mengajak anak saya main
ke Bogor, ke Puncak. Waktu itu masih banyak kebutuhan sekolah jadi belum mampu.
Sekarang putri sudah terlanjur pindah jauh, ikut suaminya.” Suaranya tidak
nyentrik, tuturnya adem. “Apik toh
Puncak. Saya tidak ada libur narik bus, ke Bogor kan jauh. Sekarang putra putri
sudah terlanjur besar, paling-paling ajak cucu.” Keinginan yang begitu sederhana dalam
kejujuran yang segar. Seolah meredupkan desakkan suatu pola umum, dimana semua
orang tak mesti hidup dalam arus kelayakan yang pragmatis.
Bapak sopir kembali menceritakan
sanak keluarganya, lebih intim. Bahwa hidup adalah sesuatu yang tenang tapi
pada dasarnya riang, ibarat rumput hijau yang tidak mahal: namun bersih. Bahwa
seorang bisa merasa kaya tanpa takaran harta benda, sehingga terbebas dari nota bene berada, bebas atas rasa
congkak pun sewenang-wenang, mampu memberi tanpa merasa kehilangan.
Saya seolah terbangun di sore
itu.
2 comments
tulisan tulisannya bagus, gue seneng apabila bisa diskusi dengan lu mungkin bisa terkait dengan topik kemajemukan sosial masyarakat masa kini entah kapan.
ReplyDeletetrid mampir jg ya ke sini http://azmisurya.tumblr.com/
makasih.
Yap, terima kasih :)
Delete