....Tentang rasa syukur.
December 08, 2016
Manifestasi dari realita
perjalanan; ibarat melewati sebuah jembatan, kita lalu tersadar masih ada
sejumlah orang yang bekerja sebaik-baiknya hingga kita mampu melintasi jurang
dengan jurang.
Prolog dari sebuah cerita,
memulai tulisan saya tentang rasa syukur.
Selasa siang di kota Hujan. Hari
itu jadwal saya berangkat ke Kota Kembang perihal tes pencarian kerja. Satu
hari sebelum hari-H, supaya bisa bermalam dahulu setidak-tidaknya. Perjalanan Bogor
– Bandung selalu saya tempuh dengan transportasi bus, yang berhenti dan
berangkat dari terminal Baranangsiang Bogor, persis seberang keluar tol. Semuanya
berlabel bus AC, namun bermacam: bus cukup mewah full AC, pun bus agak kumuh full
AC alam. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih empat jam jika jalanan
normal—tidak mandek di Cikarang atau Padalarang. Duduk di bus selalu saya
selingi dengan menyumpal earphone di telinga,
sesekali membaca buku, lalu ketiduran memandangi macet di Bekasi, membuka bekal
makan siang di pintu tol Cikarang. Seolah sudah sangat hafal dengan rute
perjalanan—saking berulang-ulang.
Ada yang menarik dari perjalanan dengan bus. Setiap kali saya sampai
di terminal, melongok mencari palang trayek bus, suara yang familiar serontak
menyaut: “Teteh ini Bandung barangkat Bandung”. Suara nyaring kenek bus
terminal Baranangsiang yang sudah cukup akrab. Rautnya penuh brewok tidak
bermodel, badannya kuyu, menyelempangkan handuk penuh peluh di pundak kanan,
kadang di kiri. Beliau mengantarkan saya sampai dapat bangku kosong, lalu
berpesan: teteh hati-hati di jalan. Saya membalas senyum, berterimaksih. Kali
pertama saya menumpangi bus trayek Bogor – Bandung, saya memang sempat bercakap
cukup lama dengan beliau, sebab takut salah naik. Yang kedua kalinya, beliau
ternyata masih hafal. Si teteh jaket
jeans nu kamari, katanya. Beberapa menit sebelum keberangkatan, sekelompok
pengamen yang sama selalu unjuk kebolehan lagunya di dalam bus. Usai
berkeliling menyodorkan kantong permen kosong ke semua penumpang, pengamen itu kemudian
menghampiri bangku saya, seolah kami teman lama. Berbeda dengan Bapak kenek, si teteh nu rajin ka Bandung, kalau kata
mereka. Namun dengan imbuhan pesan yang sama: teteh hat-hati di jalan. Saya
membalas senyum, melafalkan aamiin dalam hati.
Ada yang menarik dari perjalanan
dengan bus: bermacam penumpang, kenek, pengamen, Pak sopir, tukang cangcimen,
tukang aqua-mijon, tukang gorengan, sampai tukang koran. Ada yang menarik dari
membeli bukan untuk menukar uang dengan barang dagangan, tapi untuk sekadar
meringankan.
Ketika itu saya merasakan takjub yang
membatin, kemudian membidik. Berbagai peluh, keluh akan pencarian kerja dan harta,
sementara baru saja menyaksikan elemen lingkungan yang seolah mengajarkan untuk menapaki hidup dengan rasa syukur, bukan pragmatisme yang kabur. Pragmatisme yang terasa
seperti semboyan: “asalkan hasilnya baik”, baik yang tidak mempersoalkan untuk
siapa dan bagaimana pula?
Saya memutar playlist berikutnya, kembali tertidur.
Pukul 16.00 bus keluar Tol Pasir
Koja, sebentar lagi berhenti di Terminal Lewipanjang, kota Bandung. Setiap kali
ke kota ini, saya selalu menumpang tidur di kostan teman—bahkan sudah seperti
saudara—yang memang kuliah dan bekerja di kota Kembang. Teman pemilik kosan
belum pulang kerja, lalu saya memutuskan untuk berjalan-jalan menghabisi
petang. Mana tahu dapat teman bercakap, pun setidak-tidaknya subjek tegur sapa
akrab.
Saya berjalan kaki menyusuri
Jalan Braga. Kali pertama menjejaki langkah di jalan ini, membuat saya jatuh
hati. Sore itu hangat, toko-toko mulai dari indomaret, rumah makan, hingga
warung kopi berjajar klasik, hiruk pikuk kendaraan tidak memekik. Dua tiga
pedagang jalanan menggelar dagangannya di pinggir trotoar; semakin hidup. Pelukis
yang merangkap pedagang lukisan memajang masterpiece-nya
bak pameran, pedagang kue tradisional yang menyimpan dagangannya di dalam bakul
tertutup plastik tipis transparan. Langkah saya terhenti pada salah satu bangku
jalanan yang memajang bunga-bunga dalam ember. Adalah milik Bapak penjual bunga
mawar merah, pink, dan biru. Tiap tangkai dililitkan plastik transparan
bermotif, menyisakan batang hijaunya yang dibiarkan terkulai panjang. Basa-basi
menanyakan ‘satunya berapa’, sebagai
media memasuki basa-basi berikutnya.
Namanya Pak Dirman, saya sempat berkenalan.
Wajahnya tenang, tidak banyak ekspresi; hanya saja seringkali membenarkan
posisi topinya yang toh tak banyak merubah. Dengan dialek sunda kental, beliau
bercerita seputar jenis bunga dagangannya. Bukannya
hanya mawar dan mawar?
Ketenangan yang dialektis, seolah
mengamalkan hidup adalah untuk tenang, toh hidup setelah mati pun tak lepas
dari doa: semoga beristirahat dengan tenang. Ketenangan yang dialektis, seolah
luput akan kemelut dunia fana. Ketika orang-orang di luar sana sibuk berteriak menyerukan
Republik untuk ganjal Presiden kontroversial itu pajaki perusahaan negara Adikuasa,
atau pemilih millenial yang sibuk menagih calon Gubernur DKI perihal macet Ibukota,
atau bahkan cerita Bapak tua yang membelikan Android untuk anaknya dengan
pecahan dua ribu rupiah, supaya mau bersekolah. Ketenangan yang dialektis, sehingga
tak mesti ada kesadaran palsu—mistifikasi, sebagai cara si tertindas
mempersamakan diri dengan sang penindas, melarikan diri dari kepedihan dengan
menggabungkan diri pada pihak yang kuat.
Ketenangan yang dialektis, seolah
mengajarkan bahwa parameter bahagia tidak lah terukur, sampai mereka
benar-benar bisa bersyukur…
Pada Pak Dirman saya pamit undur
diri, melanjutkan langkah kaki. Menunggu waktu magrib, saya menempatkan diri di
patio seating sebuah kedai kopi. Tak
lama hadir konversasi dengan pelanggan sebelah; seorang perempuan berumur 29
tahun. Bermula dari meminjamkan powerbank
hingga berkisah tentang bisnis kami masing-masing. Karna begini yang saya tahu:
masing-masing manusia adalah sebuah sosok tubuh konkret—berpijak pada sebuah
tempat dan terkait akar di suatu sterotype
makhluk sosial yang selalu menarik. Kembali pada sore yang hangat, seolah menuntun saya menuju
alam bawah sadar, menelungkupkan kedua telapak tangan, kembali mengucap syukur
di sore itu.
Astrid Astari
Bandung, 2016
Bandung, 2016
0 comments