Bulan Ramadhan, 1439 H
Segerumun muslim membuncah dalam lafadz Alhamdulillah
Menyelingkap sarung dan mukena yang hendak menyapu tanah
Jalanan depan rumahku kini hiruk akan jajaran kain putih beriringan,
penuh gairah menyambut sholat tarawih selepas berbuka
Kolak pisang, timun suri, dan kurma...
“The likeness of those who spend their wealth in the path of God is as the likeness of a grain that sprouts seven spikes. In every spike, there are a hundred grains. Thus does God multiply reward for whomever he so wills.” (The Holy Quran, 2:261)
The blessed month of Ramadan, is what we respect as a
time to awaken compassion and solidarity with the hungry and poverty-stricken
men, women, and children around us. So what is the significance behind
it? Do all Muslims also awaken the same happiness—sajdah and say Glorious is my Lord, the most High. Then how about the
parameters of succeeding Maghrib Adzan (I bear witness that no God except Allah,
I bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah). Running all the faith
He commands, or we are just the way of gratuitously carrying it out?
Segelintir pertanyaan takzim mengudara di tempat makan saya
membuka puasa hari itu. Begitupun dipikiranku—apakah puasaku hari lalu, hari
ini, esok lusa, barang pasti diterima? Apakah aqidah yang mengindahkan tata
laku manusia sudah cukup pantas dengan yang Ia kehendaki? Wallahu 'alam—and
Allah knows the right.
Kadang manusia terlampu kulut untuk mendeklarasi barang suatu hal,
merumuskan asumsi lalu mengutarakan sebagai buah spekulasi, tanpa menakuk
kandungan kebenaran. Kadang manusia berjalan tanpa referensi—atau yang kita
yakini pedoman Kitab Suci. Lalu garis batas antara salah dan benar, makhruh dan
sunnah, haram dan halal menjadi samar. Atau, kadang diantaranya menjadi tak
terdefinisi. Kembali, (kadang) manusia memang tak ahli dalam mendefinisi
relatifitas dekrit perkara yang terasa lumrah.
Bukankah indah mengisi barang berbaris resolusi Ramadhan. Seperti
halnya, setiap akhir pekan sholat tarawih keliling masjid ibukota, menggelar buka
puasa bersama yayasan panti A, mengkhatamkan kitab suci. Atau hal sederhana
yang mampu terintegrasi menjadi puing-puing pendokrak iman: menjaga lisan,
mata, juga hati. Lalu diekspansi menjadi penataan tutur laku, membahagiakan
sesama, mengulurkan tangan untuk investasi kebahagiaan di dunia maupun di dunia
setelah akhir zaman. Bukankah akan lebih indah hidup tanpa memperdulikan
masalah manusia terlampu jauh hingga salah makna. Bukankah lebih berkah
menuntun kerabatmu menuju kebaikan, ketimbang turut terjatuh ke lubang yang
sama—tak ada buah manfaatnya.
“Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku
daripada niatku, karena niat selalu berubah-ubah”, ujar Sufyan Ats-Tsauri.
Semoga niat baik selalu teguh, juga rendah hati.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.
Salam.